ACARA 1 - UJI FISIK
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Judul
Praktikum
Uji Fisik
B.
Tujuan
Praktikum
1.
Mahasiswa dapat mengetahui metode,
prinsip pengukuran kekeruhan dengan spektrofotometer.
2.
Menentukan kekeruhan sampel limbah cair.
3.
Mahasiswa dapat mengetahui definisi,
prinsip, serta kegunaan pengukuran conductivity,
TDS, dan salinitas pada limbah cair.
4.
Menentukan nilai conductivity, TDS, dan salinitas pada limbah cair.
5.
Mahasiswa dapat mengetahui metode,
proses, dan kegunaan analisa pengukuran pH dan suhu.
6.
Menentukan pH pada sampel limbah cair.
7.
Mahasiswa dapat mengetahui metode
pengukuran warna dan bau.
8.
Menentukan warna dan bau pada limbah
cair.
9.
Mahasiswa dapat mengetahui metode dan
manfaat analisis oksigen terlarut.
10.
Menentukan nilai oksigen terlarut pada
sampel limbah cair.
C.
Manfaat
Praktikum
1. Metode
dan prinsip pengukuran kekeruhan dengan spektrofotometer dapat diketahui
sehingga mahasiswa dapat menggunakan spektrofotmeter untuk mengetahui nilai
kekeruhan sampel limbah cair nata de coco.
2. Kekeruhan
sampel limbah cairnata de coco
dapatdiketahuisetelahdiukurdenganspektrofotometer.
3. Definisi,
prinsip, serta kegunaan pengukuran conductivity,
TDS, dan salinitas pada limbah cair nata de coco dapat diketahui sehingga
mahasiswa dapat mengaplikasikan pengukuran ketiga hal tersebut dalam
menganalisis limbah cair.
4. Nilaiconductivity, TDS, dan salinitas pada
limbah cairdapatdiukur dan diketahuibesarnyasehinggasampellimbahcairnata de
coco dapatdianalisislebihlanjut.
5. Metode,
proses, dan kegunaan analisa pengukuran pH dan suhu dapat diketahui dan
dipahami sehingga mahsiswa dapat melakukan pengukuran pH dan suhu dengan tepat
dan mengaplikasikan kegunaannya untuk menganalisa sampel limbah cair nata de
coco.
6. pH
pada sampel limbah cairdapatdiketahuisehinggadapatdianalisiskondisinya.
7. Metode
pengukuran warna dan bau dapat diketahui sehingga mahasiswa dapat melakukan
analisis pengukuran warna dan bau pada sampel limbah cair nata de coco yang ada
dengan tepat.
8. Warna
dan bau pada limbah cairdapatdiketahui dan sampellimbahcairdapatdianalisiskondisinya
dari aspekfisik.
9. Metode
dan manfaat analisis oksigen terlarut dapat diketahui sehingga mahasiswa dapat
melakukan analisis oksigen terlarut dengan benar dan mengerti manfaat apa yang
didapat setelah melakukan pengukuran tersebut pada sampel limbah cair nata de
coco.
10. Nilai
oksigen terlarut pada sampel limbah cair nata de coco dapat diketahui besarnya
sehingga mahasiswa dapat menentukan analisis selanjutnya dari kondisi sampel
limbah tersebut.
BAB II
DASAR TEORI
1.
Acara II. Analisa Pengukuran Kekeruhan
(Spektrofotometer).
Kekeruhan adalah
ukuran yang menggambarkan efek cahaya sebagai dasar untuk mengukur keadaan air
baku dengan skala NTU (nephelometirx
turbidity unit) atau JTU (jackson
turbidity unit) atau FTU (formazin
turbidity unit). Hal ini membuat perbedaan nyata dari segi estetika maupun
dari segi kualitas air itu sendiri. Kekeruhan di dalam air disebabkan oleh
adanya zat tersuspensi seperti lempung, lumpur, zat organik, plankton, dan
zat-zat halus lainnya (Wagiman, 2014).
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan
berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang
terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan
anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun
bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikro organism lain. Bahan
yang menyebabkan air menjadi keruh antara lain tanah liat, endapan (lumpur),
zat organik dan bukan organik yang terbagi dalam butir-butir halus, campuran
warna organik yang bisa dilarutkan, plankton, dan jasad renik (Rohmah, 2010).
Turbidimeter adalah alat yang digunakan sebagai alat uji
standar untuk mengetahui tingkat kekeruhan air. Keberadaan alat ini sebenarnya
sudah umum dan mudah dicari. Namun, karena harganya relatif mahal menjadikan
alat ini hanya dimiliki oleh pihak – pihak tertentu. Untuk menguji apakah air
yang kita punya mempunyai standar atau tidak harus pergi ke laboratorium
pengujian air minum, hal ini menyebabkan kurang efektif dan efisien (Nuzula,
2013).
Kekeruhan air limbah disebabkan oleh kehadiran materi koloid
yang tidak meneta. Hal ini terdiri dari partikel halus tanah liat, limbah susu,
limbah, peroksida bebas terbentuk dari besi dan logam lainnya garam, industri
keramik atau industri kertas dan pulp. Kekeruhan dapat menghambat penetrasi
cahaya, membatasi fotosintesis oleh mikroorganisme dan dengan demikian dapat
mempengaruhi oksigenasi air (Mahajan, 1985).
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan
berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang
terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan
anorganik yang tersuspensi dan terlarut misalnya lumpur dan pasir halus, maupun
bahan anorganik dan organik berupa plankton dan mikroorganisme lain (Pharino,
2007).
Kekeruhan dinyatakan dalam satuan unit turbiditas yang setara
dengan 1 mg/liter SiO2. Peralatan yang pertama kali digunakan untuk
mengukur turbiditas adalah Jackson
Candler Turbidimeter yang dikalibrasi menggunakan silika. Kemudian, Jackson Candler Turbidimeter dijadikan
sebagai alat baku bagi pengukuran kekeruhan. Satu unit turbiditas Jackson Candler Turbidimeter dinyatakan
dengan satuan 1 JTU. Pengukuran dengan menggunakan alat ini bersifat visual
yaitu membandingkan air sampel dengan air standar. Selain dengan menggunakan Jackson Candler Turbidimeter, kekeruhan
sering diukur dengan metode Nephelometric.
Pada metode ini, sumber cahaya dilewatkan pada sampel dan intensitas cahaya yang
dipantulkan oleh bahan-bahan penyebab kekeruhan diukur dengan menggunakan
suspensi polimer formazin sebagai larutan standar. Satuan yang diukur dengan
metode Nephelometric adalah NTU (Nephelometric Turbidity Unit) (Effendi,
2003).
Peningkatan nilai turbiditas pada perairan dangkal dan jernih
sebesar 25 NTU dapat mengurangi 13%-50% produktivitas primer. Peningkatan
turbiditas sebesar 5 NTU di danau dan sungai dapat mengurangi produktivitas
primer berturut-turut sebesar 75% dan 3%-13%. Kekeruhan yang tinggi dapat
mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernafasan dan daya
lihat organisme akuatik, serta dapat memghambat penetrasi cahaya ke dalam air.
Tingginya nilai kekeruhan juga dapat mempersulit usaha penyaringan dan
mengurangi efektivitas desinfeksi pada proses penjernihan air (Effendi, 2003).
Dalam praktikum ini kekeruhan diukur dengan menggunakan
spektrofotometer.Spektrofotometer merupakan instrumen yang memungkinkan orang
mengukur transmitans (atau absorbans) pada berbagai panjang gelombang.Beberapa
jenis spektrofotometer adalah (Bassett, 1994):
1. Spektrofotometer Ultraviolet Unicam SP 600
2. Spektrofotometer Ultraviolet Unicam SP500 Series 2
3. Spektrofotometer Ultraviolet dan nampak Beckman DU
4. Spektrofotometer Berkas Rangkap
5. Spektrofotometer Perkin Elmer 402
2.
Acara III. Analisis Pengukuran Daya
Hantar Listrik, TDS, dan Salinitas dengan Conductivitymeter.
Konduktivitas
suatu zat didefinisikan sebagai kemampuan atau kekuatan untuk melakukan atau
mengirimkan panas, listrik, atau suara. Dalam air dan bahan ionik atau cairan,
gerakan ion dapat terjadi. Fenomena ini menghasilkan konduksi ionik arus
listrik. Air murni adalah bukan konduktor listrik yang baik. Air suling biasa
dalam keseimbangan dengan karbon dioksida dari udara memiliki konduktivitas
sekitar 10 x 10-6 Wm-1-1 * (20 dS/m). Karena arus listrik
diangkut oleh ion dalam larutan, konduktivitas meningkat sejalan dengan
meningkatnya konsentrasi ion (Wagiman, 2014).
Parameter-parameter
fisika yang biasa digunakan untuk menentukan kualitas air meliputi cahaya,
suhu, kecerahan dan kekeruhan, warna, konduktivitas, padatan total, padatan
terlarut, padatan tersuspensi, dan salinitas (Effendi, 2003).
Nilai
konduktivitas atau DHL berhubungan erat dengan nilai padatan terlarut total
(TDS). Hal ini ditunjukkan dalam persamaan berikut:
Nilai
TDS dapat diperkirakan dengan mengalikan nilai DHL dengan bilangan 0,55-0,75.
Nilai TDS biasanya lebih kecil daripada nilai DHL. Pada penentuan nilai TDS,
bahan-bahan yang mudah menguap (volatile)
tidak terukur karena melibatkan proses pemanasan (Effendi, 2003).
Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid atau TDS) adalah bahan-bahan terlarut
(diameter <10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm-10-3
mm) yang berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak
tersaring pada kertas saring berdiameter 0,45 mikrometer. TDS biasanya
disebabkan oleh bahan anorganik yang berupa ion-ion yang biasa ditemukan di
perairan (Effendi, 2003).
Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat
di perairan. Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua
karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleh
klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas dinyatakan dalam
satuan g/kg atau promil (%o) (Effendi, 2003).
Salinitas merupakan faktor penting bagi penyebaran
organisme perairan laut dan oksigen dapat merupakan faktor pembatas dalam penentuan
kehadiran makhluk hidup di dalam air. Dalam aspek ekologi, penentuan suhu,
salinitas dan oksigen terlarut seringkali dinyatakan dalam kisaran nilai
harian, mingguan atau musiman dan hasilnya berbeda di setiap perairan (Patty,
2013).
Secara teoritis air laut memiliki nilai TDS yang
tinggi karena mengandung banyak senyawa kimia yang mengakibatkan tingginya
nilai salinitas dan daya hantar listrik. Oleh karena itu, untuk memprediksi
suatu daerah terintrusi air laut dapat dilihat dari pola penyebaran hubungan
nilai DHL dan TDS terhadap jarak dari garis pantai. Semakin jauh dari garis
pantai secara teoritis nilai DHL dan TDS semakin kecil. Nilai DHL dan TDS
dilokasi penelitian mempunyai sebaran yang bervariasi terhadap jarak (Husni,
2013).
3.
Acara IV. Analisa Pengukuran pH dan
Suhu.
PH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk
menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. pH
didefinisikan sebagai kologaritma aktivitasion hidrogen (H+) yang
terlarut. Koefisien aktivitas ion hidrogen tidak dapat diukur secara
eksperimental, sehingga nilainya didasarkan pada perhitungan teoritis. Skala pH
bukanlah skala absolut. Larutan dengan pH kurang dari 7 disebut bersifat asam,
dan larutan dengan pH lebih dari 7 disebut bersifat basa atau alkali (Wagiman,
2014).
pH meter adalah suatu piranti pengukur voltase yang
dirancang untuk digunakan dengan sel-sel beresistansi tinggi. Instrumen
pembacaaan langsung adalah voltmeter elektronik dengan resistansi masukan yang
sangat tinggi; rangkaian itu ditata sedemikian sehingga memberikan pembacaan
pengukur yang berbanding terhadap pH (Day, 2002).
Definisi suhu berkaitan dengan energi rata-rata dari
suatu sistem partikel. Definisi ini adalah untuk sistem dalam kesetimbangan dan
bekerja bahkan untuk sistem nano (Tritt, 2004).Suhu juga berhubungan dengan
energi kinetik molekul dari bahan. Pada umumnya hubungan ini cukup rumit,
sehingga tidak tepat untuk dijadikan titik awal pendefinisian suhu. Suhu dan
panas adalah suatu konsep makroskopik mendasar. Untuk menggunakan suhu sebagai
ukuran panas atau dingin, perlu dibuat skala suhu (Young, 2000).
4.
Acara V. Analisa Pengukuran Warna dan
Bau (Indera).
Warna adalah
spektrum tertentu yang terdapat di dalam suatu cahaya sempurna (berwarna
putih). Identitas suatu warna ditentukan oleh panjang gelombang cahaya
tersebut. Panjang gelombang warna yang masih bisa ditangkap mata manusia
berkisar antara 380-780 nanometer (Wagiman, 2014).
Salah
satu pentingnya warna adalah pada proses pembersihan sampel. Penggunaan asam /
basa /perak nitrat/kolom silika adalah langkah pertama dalam prosedur
pembersihan kromatografi yang dianjurkan. Kolom dikemas sesuai dengan instruksi
metode tertentu. Sebelum digunakan, kolom yang dikemasdibilas menggunakan 2%
diklorometana inheksana. Pelarut ditarik ke atas kemasan, botol pengumpul
diatur pada tempatnya, dan sampel terkonsentrasi ditransfer ke kolom
menggunakan pipet pasteur. Setelah semua pelarut dikeringkan melalui kolom, perak
nitrat/silika dan lapisan asam/silika diperiks/diamati warnanya. Warna
menunjukkan kejenuhan yang tidak diinginkan dari lapisan ini dan pemisahan yang
tidak lengkap. Jika perak nitrat / lapisan silika menunjukkan tanda-tanda
kejenuhan, ekstrak sampel terkonsentrasi harus melewati thorugh kolom tambahan
perak nitrat / silika (Linskens, 1999).
Dalam
mempertimbangkan pengukuran bau, penting untuk membedakan antara aroma dan bau.
Aroma adalah zat yang merangsang sistem penciuman manusia sehingga bau yang
dirasakan, sedangkan bau adalah atribut organoleptik jelas oleh organ penciuman
pada mengendus zat volatil tertentu. Konsentrasi bau adalah parameter yang
paling sering diukur dan dapat diukur secara analitis atau dengan cara
sensorik. Pengukuran analitis memberikan konsentrasi fisik untuk aroma
tertentu, sedangkan pengukuran konsentrasi sensorik menentukan jumlah
pengenceran yang diperlukan untuk mengurangi bau konsentrasi ambang batas (threshold concentration), yang merupakan
konsentrasi terendah di mana bau baik dapat dideteksi atau diakui (Nicolay,
2006).
Beberapa
sumber utama bau adalah hidrogen sulfida dan senyawa organik yang dihasilkan
oleh dekomposisi anaerob. Selain menyebabkan keluhan, bau mungkin merupakan
tanda dari gas beracun atau menjengkelkan atau kondisi anaerob di unit yang
dapat memiliki efek yang merugikan kesehatan atau dampak lingkungan. Beberapa
bau di tempat pembuangan sampah, tumpukan sampah, dan unit aplikasi tanah
timbul baik dari limbah diturunkan atau dari benar tertutup sampah di tempat.
Bau dari sampah di tempat efektif dapat diminimalkan dengan menjaga integritas
bahan penutup atas segala sesuatu tetapi wajah yang sedang aktif. Pemadatan
limbah yang tepat juga membantu untuk mengontrol bau (Vanatta, 2000).
5.
Acara VI. Analisa Pengukuran Oksigen
Terlarut (Dissolved Oxygen).
Kejenuhan oksigen atau oksigen terlarut (DO) adalah
ukuran relatif dari jumlah oksigen terlarut dalam air. DO diukur dalam satuan
larutan standar seperti milimeter O2 per liter (ml/L), milimeter O2
per liter (mmol/L), O2 miligram per liter (mg/L) dan mol O2
per meter kubik (mol/m3). Sumber oksigen dalam perairan dapat
diperoleh dari hasil proses fotosintesis phytoplankton atau tumbuhan hijau dan
proses difusi dari udara, serta hasil proses kimiawi dari reaksi-reaksi
oksidasi (Wagiman, 2014).
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk
kehidupan tanaman dan hewan di dalam air. Kehidupan makhluk hidup di dalam air
tersebut tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen
minimal yang dibutuhkan untuk kehidupannya. Ikan merupakan makhluk air yang
memerlukan oksigen tertinggi, kemudian invertebrata, dan yang terkecil
kebutuhan oksigennya adalah bakteri. Biota air hangat memerlukan oksigen
terlarut minimal 5 ppm, sedangkan biota air dingin memerlukan oksigen terlarut
mendekati jenuh. Konsentrasi oksigen terlarut minimal untuk kehidupan biota
tidak boleh kurang dari 6 ppm. Oksigen terlarut dapat berasal dari proses
fotosintesis tanaman air, di mana jumlahnya tidak tetap tergantung dari jumlah
tanamannya, dan dari atmosfer (udara) yang masuk ke dalam air dengan kecepatan
terbatas.Konsentrasi oksigen terlarut dalam keadaan jenuh bervariasi tergantung
dari suhu dan tekanan atmosfer. Pada suhu 20o C dengan tekanan 1 atm
konsentrasi oksigen terlarut dalam keadaan jenuh adalah 9,2 ppm, sedangkan pada
suhu 50o C dengan tekanan yang sama tingkat kejenuhannya hanya 5,6
ppm. Semakin tinggi suhu air semakin rendah tingkat kejenuhan (Fardiaz, 1992).
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
1.
Alat
dan Bahan
a.
Analisa Pengukuran Kekeruhan.
Alat:
1.
Spektrofotometer
2.
Tissue
3.
Gelas beaker
4.
Gelas ukur
5.
Aquadest
Bahan:
1.
Sampel limbah
b.
Analisa Pengukuran Daya Hantar Listrik,
TDS, dan Salinitas dengan Conductivitymeter.
Alat:
1. Conductivitymeter
2. Larutan
standar
3. Aquadest
4. Tissue
Bahan:
1. Sampel
limbah cair
c. Analisa Pengukuran pH dan Suhu.
Alat:
1. Termometer
2. pH
meter
3. Gelas
beaker
4. Larutan
Buffer 7, 4, 10
5. Aquadest
6. Tissue
Bahan:
1. Sampel
limbah cair
d.
Analisa Pengukuran Warna dan Bau
(Indera).
Alat:
1. Kertas
putih
2. Gelas
beaker
Bahan:
1. Sampel
limbah
e.
Analisa Pengukuran Oksigen Terlarut.
Alat:
1.
Hand
held dissolved oxygen meter
2. Aquadest
Bahan:
1. Sampel
limbah
2.
Cara
Kerja
a. Analisa
Pengukuran Kekeruhan
PROSEDUR
|
HASIL
|
||||||||||||||||||
a.
Blanko
1. Sampel
blanko berupa aquadest disiapkan.
2. Tombol
ON ditekan.
3. Program
Hach ditekan.
4. Opsi
Suspended Solids dipilih.
5. Opsi
zero dipilih.
b.
Sampel
1. Tutup
spektrometer dibuka danganti botol blanko dengan botol sampel 1.
2. Menu
“read” dipilih untuk membaca hasil
kekeruhan.
3. Langkah 1 dan 2
diulangi sampai 3 kali.
4. Kuvet
sampel dikeluarkan kemudian diganti dengan blanko.
5. Botol
sampel selanjutnya dimasukkan ke dalam spektrofotometer dan diulangi seperti
langkah 2.
6. Pengukuran
kekeruhan dengan langkah yang sama diulangi hingga 3 kali.
|
Sampel
blanko berupa aquadest siap untuk digunakan.
Spekrofotometer
menyala dan siap digunakan.
Hach
program
terpilih.
Opsi
utnuk pengukuran suspended solid
dipilih.
Setting
zero untuk kalibrasi terpilih.
Botol
sampel berada di dalam spektrofotometer dan siap untuk diukur kekeruhannya.
Hasil
kekeruhan untuk sampel 1diketahui.
Didapat
3 data pengukuran kekeruhan untuk sampel 1.
Kalibrasi
selanjutnya telah dilakukan.
Hasil
kekeruhan untuk sampel 2 diketahui.
Didapat
3 buah data pengukuran kekeruhan untuk sampel 2.
|
b. Analisa
Pengukuran Daya Hantar Listrik, TDS, dan Salinitas dengan Conductivitymeter
PROSEDUR
|
HASIL
|
1. Alat
conductivitymeter dihidupkan.
2. Untuk
mengukur TDS, tombol TDS ditekan dan dicatat nilainya.
3. Untuk
mengukur salinitas, tombol SAL ditekan dan dicatat nilainya.
4. Untuk
mengukur conductivity, tombol COND ditekan dan dicatat nilainya.
5. Pengukuran diulangi
sebanyak tiga kali.
6. Alat
dimatikan.
|
Conductivitymeter menyala dan siap
digunakan.
Nilai TDS sampel diketahui.
Nilai salinitas sampel diketahui.
Nilai DHL atau konduktivitas sampel
diketahui.
Nilai TDS, salinitas, dan DHL untuk
pengulangan kedua dan ketiga diketahui.
Konduktivimeter dalam keadaan mati.
|
c. Analisa
Pengukuran pH dan Suhu
PROSEDUR
|
HASIL
|
|||||||||||||||||||||
a.
Menghidupkan,
kalibrasi, dan menggunakan pH meter.
1. pH
meter dihidupkan dan dibiarkan beberapa menit sebelum digunakan.
2. Tombol
pada posisi “pH manual temp” dipilih.
3. Electrode
dicelupkan pada gelas beaker berisi akuadest.
4. dibilas
dengan aquadest beberapa kali lalu dikeringkan dengan tissue.
5. Electrode
pH meter dicelupkan ke dalam gelas beaker yang telah berisi sampel.
6. Hasil
yang keluar dicatat.
7. Langkah
diulangi sampai 3 kali.
8. Langkah
1-6 diulangi untuk gelas berisi sampel 2.
b.
Menghidupkan,
kalibrasi, dan menggunakan thermometer.
1. Thermometer
dihidupkan dan dibiarkan beberapa menit sebelum digunakan.
2. Electrode
thermometer dimasukkan pada posisinya.
3. Electrode
thermometer dicelupkan ke dalam gelas beaker yang telah berisi sampel.
4. Hasil
yang keluar dicatat.
|
pH meter menyala dan siap digunakan.
Tombol pH manual temp telah ditekan
pHmeter terkalibrasi dan siap
digunakan untuk pengukuran.
Electrode bersih dan kering.
Nilai pH untuk sampel 1 terbaca pada
layar pH meter.
Didapat nilai pH untuk sampel 1.
Didapat 3 data nilai pH untuk sampel
1.
Didapat 3 data nilai pH untuk sampel
2.
Thermometer telah menyala dan siap
digunakan.
Electrode
telah berada pada posisinya.
Electrode
tercelup sampel.
Didapat
hasil pengukuran suhu sampel.
|
d. Analisa
Pengukuran Warna dan Bau (Indera)
PROSEDUR
|
HASIL
|
1. Sampel
limbah dimasukkan dalam gelas beaker.
2. Gelas
beaker berisi sampel limbah diletakkan di atas kertas putih.
3. Warna
dan bau diamati menggunakan panca indera.
|
Sampel telah berada dalam gelas
beaker.
Gelas beaker berada di atas kertas
putih.
Warna dan bau telah diamatin dan
didapat hasilnya.
|
e. Analisa
Pengukuran Oksigen Terlarut
PROSEDUR
|
HASIL
|
|||
a.
Pengukuran
persentase (%) kejenuhan.
1. Elektroda
dicelupkan ke dalam air kemudian nilai yang tertera pada LCD dibaca setelah
nilai yang terbaca stabil.
2. Ketika
menggunakan elektroda standar OE-270AA dan stirer secara bersamaan, kedua
alat dihidupkan secara bersamaan. Setiap tombol4ditekan
pada stirer, stirer akan menjadi ON atau OFF. Ketika terdapat status STIR
pada layar LCD, maka stirer dalam keadaan ON.
3. Jika
tombol DATA IN ditekan, maka data akan langsung tersimpan dan dapat langsung
dicetak melalui printer.
4. Jika
tombol AUTO HOLD ditekan, maka data akan berhenti secara otomatis pada nilai
tertentu setelah pembacaannya stabil.
5. Ketika
pengukuran telah selesai, elektroda dibilas hingga bersih dengan aquadest dan
digosok hati-hati dengan menggunakan tissue.
b.
Selesai
pengukuran matikan alat.
1. Tombol
POWER ditekan sampai conductivitymeter OFF (alat akan mati setelah beberapa
saat data yang ditampilkan disimpan dalam memory DATA flashing).
2. Elektroda
dibilas dengan menggunakan aquadest kemudian dicelupkan pada aquadest atau
air keran. Jika conductivitymeter tidak digunakan dalam jangka waktu 2 bulan
atau lebih, membrane elektroda dikeluarkan, “inside solution” dikeluarkan,
membrane dibersihkan, kemudian dikeringkan dengan oven.
|
Angka pada LCD telah stabil.
Stirrer menjadi ON.
Data telah tersimpan.
Pembacaan data berhenti dan data siap
dicatat.
Elektroda telah bersih dan kering.
Alat menjadi mati.
Elektroda dalam keadaan bersih dan
terkalibrasi.
|
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Praktikum
1. Tabel
hasil pengukuran uji fisik
a. Analisa
Pengukuran Kekeruhan (Spektrofotometri)
Ulangan ke-
|
Sampel 1
|
Sampel 2
|
1
|
840
|
860
|
2
|
880
|
920
|
3
|
820
|
1000
|
Rata-rata
|
846,7
|
926,7
|
b. Analisa
Pengukuran Daya Hantar Listrik, TDS, dan Salinitas dengan Conductivitymeter
Objek
|
Ulangan ke-
|
TDS (mg/L)
|
Sal (%o)
|
Cond (us/cm)
|
Suhu
(oF)
|
Suhu
(oC)
|
Sampel 1
|
1
|
78,8
|
92
|
157,5
|
85,1
|
|
2
|
78,8
|
92
|
157,6
|
85,1
|
|
|
3
|
78,8
|
92
|
157,7
|
85,1
|
|
|
Rata-rata
|
78,8
|
92
|
157,6
|
85,1
|
29,5
|
|
Sampel 2
|
1
|
74,6
|
87
|
149,2
|
84,3
|
|
2
|
74,5
|
86
|
149
|
84,3
|
|
|
3
|
74,6
|
87
|
143
|
84,3
|
|
|
Rata-rata
|
74,57
|
96,67
|
147,07
|
84,3
|
29,056
|
c. Analisa
Pengukuran pH dan Suhu
Objek
|
Ulangan ke-
|
pH
|
Suhu (oC)
|
Sifat
|
Sampel 1
|
1
|
4,2
|
30
|
Asam
|
2
|
4,1
|
30,1
|
||
3
|
4,0
|
30
|
||
Rata-rata
|
4,1
|
|
|
|
Sampel 2
|
1
|
4,2
|
30,2
|
Asam
|
2
|
4,0
|
30,1
|
||
3
|
4,0
|
30,1
|
||
Rata-rata
|
4,067
|
|
|
d. Analisa
Pengukuran Warna dan Bau (Indera)
Sampel 1
|
Warna : kuning
muda, keruh
Bau : asam,
tidak terlalu menyengat
|
Sampel
2
|
Warna : kuning
muda, keruh
Bau : asam,
tidak terlalu menyengat
|
e. Analisa
Pengukuran Oksigen Terlarut
Objek
|
Ulangan ke-
|
DO
|
Suhu (oC)
|
Sampel 1
|
1
|
39,2
|
30,2
|
2
|
35,9
|
30,4
|
|
3
|
34,2
|
31
|
|
Rata-rata
|
36,43
|
30,53
|
|
Sampel 2
|
1
|
36,3
|
30,5
|
2
|
35,0
|
30,8
|
|
3
|
35,1
|
30,8
|
|
Rata-rata
|
35,47
|
30,7
|
2. Perhitungan
konversi pH
Terlampir.
B.
Pembahasan
Berdasarkan keputusan Menperindag RI
No.231/MPP/Kep/7/1997 Pasal I tentang prosedur impor limbah, menyatakan bahwa
limbah adalah bahan/barang sisa atau bekas dari suatu kegiatan atau proses
produksi yang fungsinya sudha berubah dari asalnya, kecuali yang dapat dimakan
oleh manusia dan hewan.Limbah dikatakan mempunyai nilai ekonomi yang negatif
karena penanganan untuk membuang atau membersihkannya memerlukan biaya yang
cukup besar, di samping juga mencemari lingkungan.Limbah dibedakan menjadi 2
berdasarkan toksisitasnya, yaitu limbah non B3 dan limbah B3 (Bahan berbahaya
dan beracun). Limbah non B3 adalah limbah yang tidak memberikan dampak bagi
makhluk hidup. Sementara limbah B3 adalah limbah yang mengandung bahan
berbahaya dan beracun karena sifat, konsentrasi, dan jumlahnya baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan hidup, dan
dapat membahayakan manusia.
Pentingnya uji fisik bagi limbah adalah untuk
mengidentifikasi kelayakan limbah tersebut, apakah masih dapat diolah lagi atau
tidak, kemudian mengidentifikasi bahaya apa yang mungkin ditimbulkan dari
limbah tersebut ditinjau dari aspek fisiknya. Dengan uji fisik kita juga dapat
mengetahui penanganan apa yang tepat untuk dilakukan terhadap suatu limbah.
Misalnya untuk limbah yang masih memiliki pH tinggi tentu perlakukan
penanganannya akan beda dengan limbah yang pHnya rendah.
Uji fisik
pertama yang dilakukan dalam praktikum ini adalah analisa pengukuran kekeruhan
dengan menggunakan spektrofotometer. Yang dimaksud dengan kekeruhan adalah
ukuran yang menggambarkan efek cahaya sebagai dasar untuk mengukur keadaan air
baku dengan skala NTU (nephelometirx turbidity unit) atau JTU (jackson
turbidity unit) atau FTU (formazin turbidity unit). Kekeruhan di dalam air
disebabkan oleh adanya zat tersuspensi seperti lempung, lumpur, zat organik,
plankton, dan zat-zat halus lainnya Kekeruhan menggambarkan sifat optik air
yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh
bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan
organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir
halus), maupun bahan anorganik dan organic yang berupa plankton dan mikro
organism lain. Bahan yang menyebabkan air menjadi keruh antara lain tanah liat,
endapan (lumpur), zat organik dan bukan organik yang terbagi dalam butir-butir
halus, campuran warna organik yang bisa dilarutkan, plankton, dan jasad renik.
Metode yang
digunakan untuk melakukan pengukuran kekeruhan ada 3 macam yaitu metode Hellige
Turbidimetri (unit kekeruhan silika), metode turbidimetri, dan metode
spektrofotometri. Penjelasan dari ketiga metode tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Hellige Turbidimetri
Prinsip
spektroskopi absorbsi dapat digunakan pada turbidimeter dan nefelometer. Untuk
turbidimeter, absorbsi akibat partikel yang tersuspensi diukur, sedangkan pada
nefelometer, hamburan cahaya oleh suspensilah yang diukur. Meskipun presisi
metode ini tidak tinggi tetapi mempunyai kegunaan praktis, sedangkan akurasi
pengukuran tergantung pada ukuran dan bentuk partikel.
Setiap instrumen spektroskopi absorbsi dapat digunakan untuk turbidimeter, sedangkan nefelometer kurang sering digunakan pada analisis anorganik. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, absorbsi bervariasi secara Tinier terhadap konsentrasi, sedangkan pada konsentrasi lebih rendah untuk sistem koloid Te dan SnCl2, tembaga ferosianida dan sulfida-sulfida logam berat tidak demikian halnya.
Kelarutan zat tersuspensi seharusnya kecil. Suatu gelatin pelindung koloid biasanya digunakan untuk membentuk suatu dispersi koloid yang seragam dan stabil.
Setiap instrumen spektroskopi absorbsi dapat digunakan untuk turbidimeter, sedangkan nefelometer kurang sering digunakan pada analisis anorganik. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, absorbsi bervariasi secara Tinier terhadap konsentrasi, sedangkan pada konsentrasi lebih rendah untuk sistem koloid Te dan SnCl2, tembaga ferosianida dan sulfida-sulfida logam berat tidak demikian halnya.
Kelarutan zat tersuspensi seharusnya kecil. Suatu gelatin pelindung koloid biasanya digunakan untuk membentuk suatu dispersi koloid yang seragam dan stabil.
2. Spektrofotometri
Merupakan suatu
metoda analisa yang didasarkan pada pengukuran serapan sinar monokromatis
oleh suatu lajur larutan berwarna pada panjang gelombamg spesifik dengan
menggunakan monokromator prisma atau kisi difraksi dengan detektor fototube.
Spektrofotometri dapat dianggap sebagai perluasan suatu pemeriksaan visual
dengan studi yang lebih mendalam dari absorbsi energi. Absorbsi radiasi oleh
suatu sampel diukur pada berbagai panjang gelombangdan dialirkan oleh suatu
perkam untuk menghasilkan spektrum tertentu yang khas untuk komponen yang
berbeda.
3. Turbidimetri
Merupakan analisis kuantitatif yang didasarkan pada
pengukuran kekeruhan atau turbidan dari suatu larutan akibat adanya suspensi
partikel padat dalam larutan. Artinya turbidimetri adalah analisa yang
berdasarkan hamburan cahaya. Hamburan cahaya terjadi akibat adanya partikel
yang terdapat dalam larutan. Partikel ini menghamburkan cahaya ke segala arah
yang mengenainya. Turbidimetri adalah pengukuran spesies hamburan cahaya dalam
larutan dengan memanfaatkan intensitas cahaya berkas masuk setelah dilewatkan
melalui larutan.Dalam turbidimetri digunakan larutan yang berupa koloid atau
tersuspensi. Larutan jernih juga dapat diukur dengan metoda ini dengan jalan
memberikan emulgator untuk mengemulsi larutan.
Spektrofotometer merupakan alat yang digunakan
untuk mengukur absorbansi dengan cara melewatkan cahaya dengan panjang
gelombang tertentu pada suatu obyek kaca atau kuarsa yang disebut kuvet. Sebagian dari cahaya tersebut akan
diserap dan sisanya dilewatkan. Nilai absorbansi dari cahaya yang dilewatkan
akan sebanding dengan konsentrasi larutandi dalam kuvet.
Prinsip kerja spektrofotometer adalah bila cahaya (monokromatik maupun
campuran) jatuh pada suatu medium homogen, sebagian dari sinar masuk akan
dipantulkan, sebagian diserap dalam medium itu, dan sisanya diteruskan. Nilai
yang keluar dari cahaya yang diteruskan dinyatakan dalam nilai absorbansi
karena memiliki hubungan dengan konsentrasi sampel. Adapun cara kerja dari
spektrofotometer adalah sebagai berikut. Sinar berasal dari dua lampu yang
berbeda, yaitu lampu wolfram untuk sinar Visible (sinar tampak = 38 – 780nm)
dan lampu deuterium untuk sinar Ultra Violet (180-380nm) pada video lampu yang
besar. Pilih panjang gelombang yang diinginkan/diperlukan. Kuvet, ada dua
karena alat yang dipakai tipe double beam, disanalah kita menyimpan sample dan
yang satu lagi untuk blanko. Detektor atau pembaca cahaya yang diteruskan oleh
sampel, disini terjadi pengubahan data sinar menjadi angka yang akan
ditampilkan pada reader. Yang harus dihindari adanya cahaya yang masuk ke dalam
alat, biasanya pada saat menutup tenpat kuvet, karena bila ada cahaya lain
otomatis jumlah cahaya yang diukur menjadi bertambah.
Dalam praktikum ini digunakan sampel limbah cair
berupa limbah tahu sebanyak 100 ml yang kemudian diencerkan menggunakan air
dengan perbandingan 10 ml limbah dan 90 ml aquadest, atau diencerkan sebesar
10%. Sampel dibuat sebanyak 2 buah (gelas beaker 1 dan gelas beaker 2) sehingga
total sampel limbah yang dipakai adalah 200 ml. Pengukukuran diulangi sebanyak
3 kali untuk masing-masing wadah sampel. Pengukuran dengan spektrofotometer
untuk sampel 1 menunjukkan angka 84, 88, dan 82, sehingga rata-ratanya adalah
84,67 NTU. Pengukuran untuk sampel 2 menunjukkan angka 86, 92, dan 100,
sehingga rata-ratanya adalah 92,67 NTU. Namun karena objek sampel yang
sebenarnya ingin diukur adalah sampel sebelum pengenceran sedangkan yang diukur
adalah sampel yang sudah mengalami pengenceran 10%, maka hasil pengukuran yang
ditunjukkan oleh spektrofotometer tersebut harus dikalikan kembali dengan 10. Sehingga
hasil akhir pengukuran kekeruhan untuk sampel 1 adalah 846,7 NTU dan untuk
sampel 2 sebesar 926,7 NTU. Dari hasil pengukuran ini dapat dikatakan bahwa
sampel 2 lebih keruh dari sampel 1 karena rata-rata nilai kekeruhan sampel 2
lebih besar dari nilai kekeruhan sampel 1.
Dalam Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Baku Mutu Air Di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, tercantum bahwa batas kekeruhan air untuk golongan I (air untuk
minum) adalah sebesar 5 NTU, sedangkan untuk golongan II, III, dan IV tidak
tercantum berapa ambang batas kekeruhannya. Hasil kekeruhan pada sampel limbah
1 adalah 846,7 NTU dan pada sampel limbah 2 adalah 926,7 NTU. Angka ini jauh
berbeda dengan batas kekeruhan yang ditetapkan pemerintah untuk untuk air minum
yaitu 5 NTU. Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa sampel yang diambil berupa
limbah cair dari produksi tahu sangatlah tidak layak diperuntukkan sebagai
konsumsi air minum. Nilai kekeruhan yang tinggi ini menunjukkan bahwa banyak
total suspended solid atau TSS yang terkandung dalam sampel limbah tersebut.
Komponen TSS yang terkandung dalam limbah tahu ini belum diketahui terdiri dari
zat apa saja, namun sudah bisa diprediksi bahwa TSS dalam sampel tersebut
membuat cairan ini menjadi tidak layak untuk dikonsumsi.
Dampak ketika nilai kekeruhan sampel ataupun suatu
cairan lain melebihi ambang batas yang telah ditentukan adalah cairan tersebut
tidak dapat atau tidak layak dijadikan air minum sehingga harus dialihfungsikan
atau bahkan dibuang (tergantung hasil uji fisik lainnya). Selain itu, jika
cairan terlalu keruh maka sinar matahari tidak dapat menembus sampai ke dalam
sehingga air tersebut tidak mendukunguntuk dijadikan tempat tinggal makhluk
hidup. Penanggulangan untuk hal ini adalah dengan melakukan filtrasi agar
padatan yang terkandung di dalamnya bisa dikurangi dan dengan sendirinya
kekeruhan pun akan berkurang.
Uji fisik kedua yang dilakukan adalah analisa
pengukuran daya hantar listrik, TDS, dan salinitas dengan menggunakan
conductivitymeter. Yang dimaksud dengan daya hantar listrik atau konduktivitas
adalah kemampuan atau kekuatan suatu zat untuk melakukan atau mengirimkan
panas, listrik, atau suara. Dalam air dan bahan ionik atau cairan, gerakan ion
dapat terjadi. Fenomena ini menghasilkan konduksi ionik arus listrik. Satuan
dari konduktivitas adalah ms/cm
(mikro-siemens per centimeter). Yang dimaskud dengan padatan terlarut total
(Total Dissolved Solid atau TDS) adalah bahan-bahan terlarut (diameter <10-6
mm) dan koloid (diameter 10-6 mm-10-3 mm) yang berupa senyawa-senyawa kimia dan
bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,45
mikrometer. TDS biasanya disebabkan oleh bahan anorganik yang berupa ion-ion
yang biasa ditemukan di perairan. Satuan TDS yang umumnya digunakan adalah
mg/L. Sedangkan yang dimaksud dengan salinitas adalah konsentrasi total ion
yang terdapat di perairan. Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air,
setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida
digantikan oleh klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas
dinyatakan dalam satuan g/kg atau promil (%o).
Dalam uji ini, alat ukur yang digunakan adalah konduktivitimeter.
Konduktivitimeteradalah alat yang dapat digunakan untuk analisis kimia konduktimeter.
Konduktimeter adalah metode analisis kimia berdasarkan daya hantar listrik
berdasarkan larutan. Prinsip kerja alat ini berkitan dengan daya hantar listrik
dari suatu larutan yang berhubungan dengan jenis dan konsentrasi ion di dalam
larutan. Bagian-bagiannya adalah sumber listrik yang didasarkan pada arus AC.
Hasil pembacaan alat konduktivitimeter untuk daya
hantar listrik atau konduktivitas (3 kali pengulangan berturut-turut) untuk
sampel 1 adalah 15,75ms/cm, 15,76 ms/cm,
dan 15,77ms/cm
sehingga menghasilkan nilai rata-rata 15,76 ms/cm.Untuk
sampel 2, hasil pembacaan konduktivitimeter adalah 14,92 ms/cm,
14,9 ms/cm,
dan 14,3 ms/cm.
Sama seperti analisa kekeruhan, angka hasil pembacaan ini harus dikalikan
dengan 10 karena sampel yang diukur adalah limbah yang telah mengalami
pengenceran sebesar 10%. Hasil pengukuran yang sebenarnya menjadi 157,6 ms/cm
untuk sampel 1 dan 147,07 ms/cm untuk sampel 2.
Hasil pembacaan alat konduktivitimeter untuk TDS (3
kali pengulangan berturut-turut) untuk sampel 1 adalah 7,88 mg/L, 7,88 mg/L,
dan 7,88 mg/L sehingga rata-ratanya adalah 7,88 mg/L. Untuk sampel 2, hasilnya
adalah 7,46 mg/L, 7,45 mg/L, dan 7,46 mg/L sehingga rata-rata TDS untuk sampel
2 adalah 7,457 mg/L. Seperti uji sebelumnya, hasil ini dikalikan dengan 10
karena sampel yang diukur adalah hasil pengenceran 10% sehingga nilai TDS untuk
sampel 1 menjadi 78,8 mg/L dan untuk sampel 2 adalah 74,57 mg/L. Hal ini
berarti bahwa dalam sampel 1 terkandung sebanyak 78,8 mg padatan terlarut dalam
1 liter cairan limbah tahu, dan dalam sampel 2 terkandung sebanyak 74,57 mg
padatan terlarut dalam 1 liter cairan limbah tahu.
Untuk pengukuran salinitas, hasil pembacaan
konduktivitimeter dengan 3 kali pengulangan berturut-turut menunjukkan hasil
sebagai berikut. Untuk sampel 1 adalah 9,2 %o, 9,2 %o, dan
9,2 %o sehingga rata-ratanya adalah 9,2 %o. Untuk sampel
2 hasilnya adalah 8,7 %o, 8,6 %o, dan 8,7 %o,
sehingga rata-ratanya menjadi 8,667 %o. Hasil ini dikalikan 10
seperti uji-uji sebelumnya karena sampel yang diukur mengalami pengenceran 10%
sehingga hasil pengukuran salinitas untuk sampel 1 adalah 92 %o dan
untuk sampel 2 adalah 86,67 %o. Hal menunjukkan bahwa dalam 1000 mL
atau 1 liter cairan sampel limbah terdapat 92 ml ion garam (untuk sampel 1) dan
86,67 ml ion garam (untuk sampel 2).
Pada alat konduktivitimeter juga terdapat pembacaan
nilai suhu dari sampel limbah dalam satuan oF. Untuk sampel 1, hasil
pengukuran suhu adalah 85,1 oF, 85,1 oF, dan 85,1 oF
sehingga rata-ratanya adalah 85,1 oF. Untuk sampel 2, hasil
pengukuran suhu adalah 84,3 oF, 84,3 oF, dan 84,3 oF
sehingga rata-ratanya adalah 84,3 oF. Hasil pengukuran dalam skala
Fahrenhait ini kemudian dikonversi menjadi skala Celcius menjadi 29,5 oC
untuk sampel 1 dan 29,056 oC untuk sampel 2.
Peraturan ambang batas untuk DHL dan salinitas tidak
diketahui, sedangkan batas untuk TDS menurut peraturan Gubernur DIY adalah 1000
mg/L untuk air golongan I, II, dan III, kemudian 2000 mg/L untuk air golongan
IV. Pada praktikum ini didapat nilai TDS sebesar 78,8 mg/L untuk sampel 1 dan
74,57 untuk sampel 2 sehingga daat disimpulkan bahwa sampel ini masih layak
untuk digunakan baik sebagai air minum maupun fungsi lainnya. Adapun dampak
dari tingginya angka TDS ini adalah meningkatkan kekeruhan suatu zat cair,
dampak lebih lanjutnya adalah menghalangi sinar cahaya matahari untuk menembus
zat cair tersebut sehingga kemungkinan untuk dijadikan tempat hidup organisme
menjadi sangat kecil. Tingginya angka TDS ini juga menunjukkan bahwa banyak
zat-zat yang telarut di dalam suatu zat cair, padahal tidak diketahui secara
persis apa saja zat yang telarut di dalamnya. Jika zat yang terlarut tersebut
adalah zat yang berbahaya, maka zat cair itu menjadi tidak layak atau bahkan
berbahaya untuk dikonsumsi. Penanggulangan dari tingginya TDS, DHL, dan
salinitas ini adalah dengan melakukan proses segmentasi antara zat padat dengan
zat cair agar TDS nya berkurang. Segmentasi zat ini juga berguna untuk
menurunkan DHL yang disebabkan oleh tingginya kadar garam/salinitas dalam suatu
zat cair. Adapun hubungan antara ketiga parameter fisik tersebut adalah:
1. Semakin
tinggi salinitas, DHL semakin tinggi dikarenakan garam yang terlarut dalam air
merupakan konduktor yang baik. Sehingga semakin banyak kadar garam terlarut,
maka konduktivitas air juga akan semakin meningkat.
2. Semakin
tinggi TDS, kemungkinan salinitas semakin tinggi karena padatan terlarut
tersebut bisa saja merupakan partikel-partikel garam yang terlarut dalam air.
Uji fisik yang dilakukan selanjutnya adalah analisa
pengukuran pH dan suhu.pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk
menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. pH
didefinisikan sebagai kologaritma aktivitasion hidrogen (H+) yang
terlarut. Koefisien aktivitas ion hidrogen tidak dapat diukur secara
eksperimental, sehingga nilainya didasarkan pada perhitungan teoritis. Skala pH
bukanlah skala absolut. Larutan dengan pH kurang dari 7 disebut bersifat asam,
dan larutan dengan pH lebih dari 7 disebut bersifat basa atau alkali. Alat
untuk mengukur pH disebut pH meter. Yang dimaksud dengan pH meter adalah suatu
piranti pengukur voltase yang dirancang untuk digunakan dengan sel-sel
beresistansi tinggi.
Definisi suhu berkaitan dengan energi rata-rata dari
suatu sistem partikel. Definisi ini adalah untuk sistem dalam kesetimbangan dan
bekerja bahkan untuk sistem nano. Suhu juga berhubungan dengan energi kinetik
molekul dari bahan. Pada umumnya hubungan ini cukup rumit, sehingga tidak tepat
untuk dijadikan titik awal pendefinisian suhu. Suhu dan panas adalah suatu
konsep makroskopik mendasar. Untuk menggunakan suhu sebagai ukuran panas atau dingin,
perlu dibuat skala suhu.
Faktor yang mempengaruhi pH adalah jumlah ion H+
dan OH- dalam suatu larutan. Semakin tinggi jumlah ion H+
maka semakin asam sifat larutan tersebut, dan semakin tinggi jumlah ion OH-
maka semakin basa sifat larutan tersebut. Sedangkan faktor yang mempengaruhi
suhu adalah energi aton penyusun benda. Semakin tinggi energi atom-atom
penyusun benda, maka semakin tinggi suhu benda tersebut.
Pada praktikum ini, pengukuran pH dilakukan dengan
alat pH meter, sedangkan suhu seharusnya diukur dengan termometer namun karena
alat pH meter ini sudah dilengkapi dengan pengukur suhu dalam skala Celcius
maka tidak diperlukan termometer tersendiri. Hasil pembacaan pH meter untuk
pengukuran pH (3 kali pengulangan berturut-turut) sampel 1 adalah 4,2; 4,1; dan
4,0 sehingga rata-ratanya menjadi 4,1, sedangkan untuk sampel 2 adalah 4,2;
4,0; dan 4,0 sehingga rata-ratanya menjadi 4,067. Karena sampel yang diuji
adalah sampel yang diencerkan sebesar 10% maka harus dilakukan perhitungan pH
lebih lanjut untuk sampel yang tidak diencerkan. Perhitungan pH terlampir,
namun hasil dari perhitungan tersebut akan dituliskan di sini yaitu 3,1 untuk
sampel I dan 3,067 untuk sampel II. Baik sampel 1 maupun sampel 2, nilai
rata-rata pHnya di bawah 7 sehingga dapat dikatakan bahwa kedua sampel yang
diuji memiliki sifat asam. Untuk pengukuran suhu, hasil pembacaan pH meter
untuk sampel 1 adalah 30 oC, 30,1 oC, dan 30 oC
sehingga rata-ratanya menjadi 30,03 oC. Untuk sampel 2, hasil
pengukuran suhunya adalah 30,2 oC, 30,1 oC, dan 30,1 oC
sehingga menghasilkan nilai rata-rata 30,13 oC.
Peraturan ambang batas untuk baku mutu air
berdasarkan peraturan Gubernur Provinsi DIY adalah sebagai berikut. Untuk aspek
pH, ambang batasnya berbeda-beda untuk air golongan I, II, III, dan IV. Air
golongan I (untuk air minum) dan golongan II memiliki ambang batas pH sebesar 6
– 8,5. Air golongan III nilai ambang batas pHnya adalah 6 – 9, sedangkan untuk
air golongan IV nilai ambang batasnya adalah 5 – 9. pH rata-rata untuk sampel I
adalah 3,1 dan untuk sampel 2 adalah 3,067 sehingga dapat dikatakan bahwa nilai
pH sampel limbah tahu ini melebihi ambang batas yang sudah ditentukan, bahkan
tidak memenuhi syarat untuk air golongan IV sekalipun. Dengan begitu, sampel
ini tidak layak untuk dikonsumsi maupun digunakan sebagai sarana beternak ikan,
pengairan, maupun rekreasi karena pHnya terlalu rendah (sifat terlalu asam).
Untuk aspek suhu, nilai ambang batasnya adalah ± 3o C
dari suhu saat pengukuran. Jika diasumsikan suhu ruang saat melakukan
pengukuran adalah suhu kamar yaitu 28o C maka seharusnya suhu sampel
tidak lebih dari 31o – 32o C. Sedangkan pada praktikum
ini, dari berbagai alat yang digunakan untuk mengukur suhu, tidak ditemui suhu
yang terlalu tinggi hingga melebihi 31o C sehingga dapat dikatakan
bahwa dari aspek suhu, sampel limbah ini
masih dalam batas normal/layak. Dampak dari pH dan suhu yang terlalu ekstrim
(terlalu rendah ataupun tinggi) adalah suatu zat cair sulit untuk dijadikan
sarana kehidupan organisme, sehingga limbah yang pH dan suhunya ekstrim tidak
boleh dibuangbegitu saja ke lingkungan
karena akan menyebabkan kematian organisme setempat. Selain itu, pH dan suhu
ekstrim juga sulit untuk dijadikan konsumsi untuk manusia karena pH dan suhu yang
terlalu ekstrim tidak dapat diterima oleh sistem pencernaan tubuh manusia.
Akibat jika limbah memiliki pH dan suhu ekstrim adalah perlu dilakukan
penanganan khusus untuk menetralkan pH dan suhu sehingga dalam batas aman ketika
akan dibuang ke lingkungan.
Selanjutnya
adalah melakukan uji fisik berupa analisa pengukuran warna dan bau. Yang
dimaksud dengan warna adalah spektrum tertentu yang terdapat di dalam suatu
cahaya sempurna (berwarna putih). Identitas suatu warna ditentukan oleh panjang
gelombang cahaya tersebut. Panjang gelombang warna yang masih bisa ditangkap
mata manusia berkisar antara 380-780 nanometer. Adapun yang dimaksud dengan bauadalah
atribut organoleptik yang jelas oleh organ penciuman pada saat mengendus zat
volatil tertentu. Konsentrasi bau adalah parameter yang paling sering diukur
dan dapat diukur secara analitis atau dengan cara sensorik. Pengukuran analitis
memberikan konsentrasi fisik untuk aroma tertentu, sedangkan pengukuran
konsentrasi sensorik menentukan jumlah pengenceran yang diperlukan untuk
mengurangi bau konsentrasi ambang batas (threshold concentration), yang
merupakan konsentrasi terendah di mana bau baik dapat dideteksi atau diakui merupakan
parameter yang subjektif. Pengukuran bau tergantung pada sensitivitas indera
penciuman seseorang. Kehadiran bau-bauan yang lain menunjukkan adanya
komponen-komponen lain di dalam air. Misalnya, bau seperti telur busuk
menunjukkan adanya hidrogen sulfida yang dihasilkan oleh permukaan zat-zat
organik dalam kondisi anaerobik.
Sumber
utama bau adalah hidrogen sulfida dan senyawa organik yang dihasilkan oleh
dekomposisi anaerob. Selain menyebabkan keluhan, bau mungkin merupakan tanda
dari gas beracun atau menjengkelkan atau kondisi anaerob di unit yang dapat
memiliki efek yang merugikan kesehatan atau dampak lingkungan. Pada air limbah,
warna biasanya disebabkan oleh kehadiran materi-materi dissolved, suspended, dan senyawa-senyawa koloidal yang dapat
dilihat dari spektrum warna yang terjadi.
Uji fisik ini tidak dilakukan dengan alat ukur
tertentu, namun hanya menggunakan alat indera berupa indera penglihatan dan
penciuman. Untuk pengukuran warna, gelas sampel diletakkan di atas kertas putih
polos kemudian diamati warnanya. Hasilnya adalah kedua sampel memiliki warna
yang sama yaitu kuning muda dan keruh. Sifat keruh ini sesuai dengan uji fisik
sebelumnya yaitu analisa kekeruhan. Untuk pengukuran bau, hasilnya untuk kedua
sampel adalah sama yaitu berbau asam namun tidak terlalu menyengat.
Peraturan ambang batas untuk warna dan bau sesuai
standar baku mutu air adalah sebagai berikut. Untuk warna, ambang batasnya
adalah 50 TCU (air golongan I) dan 100 TCU (air golongan II). Namun pada
praktikum ini tidak dilakukan pengukuran kuantitatif terhadap warna sehingga
tidak dapat dibandingkan dengan nilai ambang batas yang sudah ada. Untuk bau,
ambang batasnya hanya untuk air golongan I (air minum) yaitu air haruslah tidak
berbau. Sedangkan pada praktikum ini, sampel yang diuji memiliki bau asam
walaupun tidak menyengat, sehingga tidak memenuhi baku mutu air dari segi bau.
Dampak dari warna yang melebih ambang batas adalah
menyebabkan kekeruhan bagi zat cair tersebut. Sedangkan dampak dari bau yang
menyengat adalah mengganggu lingkungan sehingga jika akan dibuang diperlukan
penanganan lebih dulu agar kekeruhan dan bau tidak mengontaminasi lingkungan
sekitarnya. Penanggulangan yang mungkin dilakukan adalah menambahkan
mikroorganisme atau zat-zat kimia untuk mengikat bau yang terkandung di dalam
suatu limbah. Untuk warna, dapat dilakukan penjernihan berupa filtrasi maupun
distilasi.
BAB V
KESIMPULAN
DAN SARAN
A. Kesimpulan
1.
Metode pengukuran dengan
spektrofotometer adalah dengan meletakkan kuvet berisi sampel limbah pada
spektrofotometer dan membaca hasil pengukuran alat tersebut. Prinsip
pengukurannya adalah dengan melewatkan cahaya pada botol berisi cairan sampel
kemudian menghitung berapa nilai absorbans/cahaya yang terserap.
2.
Kekeruhan sampel limbah cair untuk
sampel 1 adalah 846,7 NTU dan untuk sampel 2 926,7 NTU.
3.
Prinsip pengukuran DHL, TDS, dan
salinitas dengan konduktivitimeter berkaitan dengan daya hantar listrik dari
suatu larutan yang berhubungan dengan jenis dan konsentrasi ion di dalam
larutan. Bagian-bagiannya adalah sumber listrik yang didasarkan pada arus AC.
4.
Nilai DHL untuk sampel 1 adalah 157,6 ms/cm
dan sampel 2 adalah 147,07 ms/cm. Nilai TDS untuk sampel 1 adalah
78,8 mg/L dan sampel 2 74,57 mg/L. Nilai salinitas sampel 1 adalah 92%odan
untuk sampel 2 adalah 86,86 %o.
5.
Proses pengukuran pH dan suhu adalah
dengan mencelupkan elektroda pada pH meter ke dalam sampel, setiap pengulangan
diawali dengan pembersihan dan kalibrasi pada elektroda dengan cara mencelup
dan membilasnya dengan akuadest. Kegunaan analisis pH dan suhu adalah untuk
menentukan perlakuan penanganan limbah sebelum dibuang ke lingkungan.
6.
pH pada sampel 1 adalah 3,1 dan sampel 2
adalah 3,067. Suhu sampel 1 adalah 30,03o C dan sampel 2 adalah
30,13o C.
7.
Metode pengukuran warna dan bau adalah
dengan menggunakan alat indera penciuman dan penglihatan. Gelas berisi sampel
diletakkan di atas kertas putih agar dapat diamati dengan tepat warnanya, serta
dibaui menggunakan indera penciuman.
8.
Warna sampel 1 dan 2 adalah kuning
keruh, bau untuk sampel 1 dan 2 adalah bau asam tapi tidak menyengat.
9.
Metode pengukuran DO adalah dengan
mencelupkan elektroda pada DO-meter ke dalam gelas berisi sampel, setiap awal
pengulangan pengukuran dilakukan pembilasan dengan akuadest dan dilap tissue
agar bersih dan kering. Manfaat analisis DO adalah untuk mengetahui seberapa
besar kemungkinan limbah itu akan menjadi sarana hidup
mikroorganisme baru jika dibuang sembarangan ke lingkungan.
10.
Nilai DO pada sampel 1 adalah 36,43 dan
sampel 2 adalah 35,47 mg/L.
B. Saran
Alat lebih bagus
agar tidak lama dalam melakukan pengukuran.
DAFTAR PUSTAKA
Bassett, J., et.al. 1994. Vogel’s Textbook
of Quantitative
Inorganic Analysis Including Elementary Instrumental Analysis. Longman Group UK Limited. London.
Day, R.A., dan L. Underwood.
2002. AnalisisKimiaKuantitatif.
Jakarta: Erlangga.
Effendi, Hefni. 2003. TelaahKualitas Air BagiPengelolaanSumber Daya dan
LingkunganPerairan. Yogyakarta: Kanisius.
Fardiaz, Srikandi. 1992. Polusi Air danUdara. Yogyakarta: Kanisius.
Husni, Ahmad danRohSantoso. 2013. Sebaran
TDS, DHL, Penurunan Muka Air Tanah dan Prediksi Intrusi Air Laut Di Kota
Tangerang Selatan. Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan. FakultasTeknologiPertanian.InstitutPertanianBogor.
Linskens, H.F., and J.F Jackson. 1999. Analysis of Plant Waste Materials. Springer.
New York.
Mahajan, S.P.
1985. Pollution Control In Process Industries. McGraw-Hill Publishing
Company Limited. New Delhi.
Nicolay, Xavier. 2006. Odors In The Food Industry. Springer. New
York.
Nuzula,
Nike Ika dan Endarko. 2013. Perancangan dan Pembuatan Alat Ukur Kekeruhan
Air Berbasis Mikrokotroler ATMega 8535. Dalam Jurnal
Sains Dan Seni Pomits. Vol 2, No. 1: 1-5.
Patty, Simon I. 2013.
DistribusiSuhu,
Salinitas Dan OksigenTerlarut Di PerairanKema, Sulawesi Utara. DalamJurnalIlmiahPlatax. Vol 1 No.3:148-157.
Pharino, Chanathip. 2007. Sustainable Water Quality Management Policy.
Springer. New York.
Rohmah,
Ainur, dkk. 2010. Pengenalan Alat
Analisa Tingkat Kekeruhan Air Dengan Turbidimeter. Jurusan Kimia. FakultasSainsdanTeknologi.
Universitas Islam NegeriSyarifHidayatullah. Jakarta.
Tritt, Terry M. 2004. Thermal Conductivity: Theory, Properties, and
Applications. Plenum
Publishers. New York.
Vanatta, Birute. 2000. Guide for Industrial Waste Management. Diane
Publishing. New York.
Wagiman. 2014. Modul Praktikum
Pengendalian Limbah Industri Program Studi Strata I Jurusan Teknologi Industri
Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Young, Hugh D., et.al. 2000. FisikaUniversitas. Jakarta: Erlangga.
Tags:
DHL pH
DO
kekeruhan
konduktivitas
kuliah
laporan praktikum
limbah
oksigen terlarut
salinitas
spektrofotometri
suhu. warna dan bau
TDS
uji fisik
0 comments