Boleh Kan Sedikit Menumpahkan Emosi?
Menjadi anak perempuan sekaligus anak pertama dalam keluarga. Ada beban
tersendiri yang sudah otomatis melekat pada saya. Iya, tanggung jawab yang
harus saya jalankan tanpa saya pernah meminta.
Sebagai anak pertama – yang notabene
merupakan pengalaman pertama bagi orangtua dalam melakukan segala hal –
proteksi yang saya terima bisa dibilang cukup berlebihan, apalagi jika
dibandingkan dengan adik saya yang terlahir 6 tahun setelah saya. Anak pertama,
adalah anak tertua dalam keluarga. Calon ujung tombak keluarga, calon
kebanggaan keluarga. Dalam hal ini, baik anak perempuan maupun laki-laki
bebannya tidak jauh berbeda. Sama-sama menjadi harapan orang tua – harapan besar
tentunya – untuk memperbaiki masa depan keluarga. Dari sudut pandang jenjang
pendidikan, anak pertama tentu saja akan lebih dulu menyelesaikan pendidikannya
dibanding adik(-adik)nya sehingga diharapkan bisa cepat mendapat pekerjaan dan
mandiri dalam mengurus hidupnya sendiri sehingga tidak lagi menjadi tanggungan
orang tua. Bagi anak laki-laki, mungkin tanggungannya lebih besar karena di ‘kehidupan
selanjutnya’ ia berkewajiban menafkahi keluarga barunya. Sedangkan bagi anak
perempuan, memang tidak memiliki tanggung jawab semacam itu di masa depannya, tetapi
perkembangan jaman dan pola pikir masyarakat global seolah secara tidak
langsung memaksa kaum perempuan masa kini untuk mencapai posisi yang sama
seperti laki-laki walaupun nantinya ia tidak menjadi pencari nafkah utama. Intinya,
posisi anak pertama adalah posisi yang paling diandalkan oleh orangtua
sekaligus paling dikhawatirkan. Seperti yang saya bilang, anak pertama adalah
pengalaman pertama bagi orang tua.
Sebagai contoh, saat memilih
sekolah dan universitas. Orangtua pasti akan dengan sangat hati-hati dan penuh
perhitungan dalam membuat keputusannya. Dengan pemikiran mereka sendiri, mereka
akan berusaha mencari opsi terbaik bagi sang anak sulung. Karena belum memiliki
pengalaman menyekolahkan anak sebelumnya, dapat dipahami jika orang tua
memiliki ketakutan – atau jika tidak mau menggunakan bahasa yang berlebihan,
bisa juga disebut kekhawatiran – jika pilihan yang mereka buat malah akan menempatkan
sang anak ke dalam kondisi yang tidak diinginkan di masa mendatang.
Lalu apa yang salah dengan
orang tua yang khawatir dalam memilih keputusan terbaik untuk anaknya?
Jawabannya, tidak ada.
Dari sudut pandang seorang
anak pertama, jujur saya kadang merasa serba salah dengan keadaan ini. Saya paham
bahwa orang tua saya hanya ingin yang terbaik bagi saya, saya pun dengan
sepenuhnya menyadari bahwa keinginan mereka hanyalah melihat saya bahagia dan
sukses di masa depan. Saya sangat paham. Secara logika pun keadaan ini sangat
mudah dipahami. Seperti yang seorang teman pernah katakan pada saya, “Kamu itu
ujung tombak keluargamu lho...” dan “Tujuannya orang tuamu hidup ya cuma pengen
ngeliat anak-anaknya bahagia...”. Dua kalimat yang benar-benar merasuk dalam
benak saya. Saya paham, sungguh paham. Namun pada prakteknya, dalam kehidupan
sehari-hari saya hampir selalu gagal menerapkan pemahaman saya.
Apa pasal?
Kekhawatiran itu wajar..... dalam
batas normal.
Dan yang orang tua saya lakukan adalah mengkhawatirkan saya
secara berlebihan tanpa pernah mengetahui dengan pasti minat, bakat, dan
kemampuan saya. Mereka khawatir tanpa dibarengi rasa percaya. Alih-alih
demikian, mereka merasa khawatir dan dilengkapi dengan under-estimate terhadap diri
saya.
Keinginan untuk membuat saya
bahagia dengan berusaha mencarikan pilihan-pilihan hidup yang terbaik pun juga
wajar.... jika saja mereka membarenginya dengan menghargai pendapat dan
keinginan saya.
Pilihan adalah pilihan, bukan keputusan mutlak yang dibuat
sepihak. Apalagi saya bukanlah anak-anak lagi. Saya rasa usia 20 tahun adalah
usia yang cukup untuk dipertimbangkan dalam hal berpendapat, apalagi saya
adalah mahasiswa. Saya bukan manusia yang goblok. Argumen paling mudah adalah,
saya adalah manusia, dan manusia memiliki hak asasi untuk berpendapat. Saya
tahu orang tua saya hanya ingin memberi yangterbaik. Namun masalahnya, pada
prakteknya apa yang mereka pikir baik untuk saya – menurut mereka – itu belum
tentu yang benar-benar baik untuk diterapkan pada saya.
Contohnya dalam memilih
jurusan kuliah 2 tahun lalu. Sedikit flashback, saat Ibu saya menyuruh untuk
mendaftar di jalur undangan ke sebuah universitas negeri, di jurusan sastra
Inggris. Saya memang suka bahasa asing, tapi saya yang tahu seberapa besar
minat saya dan saya yang paling paham mengenai kemampuan saya. Ibu saya
berpikir bahwa itu adalah pilihan terbaik, karena biaya kuliah yang relatif murah
dibanding universitas keinginan saya dan profesi di masa depan dari jurusan itu
adalah profesi yang sudah jelas prospek dan gajinya. Pilihan yang dibuat dengan
pertimbangan yang sangat matang dan kompleks, bukan? Tapi saya rasa saya berhak berpendapat juga, toh nantinya
saya yang akan menjalani perkuliahan itu. Saya tahu bahwa saya tidak akan bisa
memahami sesuatu tanpa rasa suka sebelumnya, tanpa minat. Jadi, saya pikir itu
bukanlah pilihan terbaik untuk saya. Jadilah, perdebatan antara orang tua yang
bersikeras memberi yang – katanya – terbaik untuk saya (untungnya saya tidak
diterima di sana, saya diterima di universitas yang saya inginkan). Sulit. Antara
ingin membela hak pribadi untuk menyatakan apa yang kita inginkan namun disalah
artikan sebagai pembantahan dan keegoisan, dengan menuruti keinginan orang tua
yang ingin memberi kita yang terbaik namun dengan keterpaksaan. Poinnya di sini
adalah, betapa sulitnya mengalahkan argumen orang tua yang telah memiliki
pilihan sendiri untuk sang anak pertama. Sebegitu kerasnya keinginan mereka
untuk memberikan hal terbaik bagi saya. Atau semasa sekolah, dalam memilih
ekstrakurikuler selalu dengan intervensi ibu saya. Adik saya? Mana pernah ia
mengalami hal yang sama. Pilihan yang dia buat sendiri selalu dengan mudah
diluluskan oleh orang tua. Entah mengapa. Kadang saya terpikir bahwa saya
sebenarnya dijadikan semacam kelinci percobaan untuk basis pengalaman orang tua
saya dalam mengasuh adik saya di waktu mendatang.
Beban lainnya?
Masih ada.
Sebagai seorang anak
perempuan – walaupun bukan yang satu-satunya dalam keluarga – tentu juga ada
kekhawatiran tersendiri dari orang tua. Plus, stereotip dari orang-orang
mengenai berbagai hal dan batasan kebebasan bagi seorang perempuan. Bicara masalah
ini tentu tidak terlepas dari topik kesetaraan gender. Perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Salah satu dari sekian topik yang saya benci di dunia
ini. Jujur saja, saya paling tidak suka dengan perbedaan ini. Topik yang bagi
saya sangat sensitif dan sedikit saja berlebihan akan membuat saya emosi. Saya
bukan tipe perempuan yang bisa bersikap seperti perempuan seharusnya. Saya
tidak anggun, saya tidak lemah-lembut, tidak rapi – malah cenderung berantakan,
tidak menjaga pola makan hanya untuk menjaga bentuk tubuh, saya tidak memiliki
feeling yang tajam, saya tidak peka, tidak penurut, sebagai pacar tidak pernah
terlalu romantis, bahkan kata beberapa teman dekat saya ini terkadang seperti
preman, suka keluyuran dan sangat mencintai kebebasan.
Kebebasan?
That’s the main topic.
“Perempuan kok pulangnya
malem-malem.”
Padahal jam termalam saya pulang adalah jam di mana jalanan masih ramai. Kejahatan? Siang bolong pun bisa terjadi. Resiko kecelakaan karena gelap? Yang kecelakaan selain malam hari pun banyak. Takdirnya mati ya mati, takdirnya celaka ya celaka.
“Perempuan kok keluyuran
terus?”
Perempuan juga manusia, seorang homo-social yang butuh bersosialisasi. Saat punya pacar saya juga butuh waktu dengan pacar saya.
“Kamu itu perempuan, jangan
pergi jauh-jauh”
Jauh itu relatif, yang jadi masalah adalah jauh versi ibu saya adalah dekat yang dijauh-jauhkan.
“Sebelum maghrib harus
pulang”
Sebelum maghrib pulang? Pas maghrib di jalan. Padahal yang dulu mengajarkan untuk tidak keluyuran di jam sekitar maghrib adalah orang tua saya sendiri.
“Pergi sama siapa aja? Sini
nomer telfon temen-temenmu”
Can't I have my private time? Am I a prisoner?
Dan masih banyak lagi. Baru
mengingat untuk menuliskannya saja sudah membuat mood saya
turun sekian persen.
So, what I supposed to do according
to what they want?
Kuliah lalu langsung pulang
dan stay di rumah untuk bersiap-siap kapanpun saya dipanggil untuk mengerjakan
pekerjaan rumah?
Weekend di rumah karena bisa
sehari penuh membantu mengurus rumah?
Menulis semua nomer telfon
teman-teman setiap saya mau pergi keluar?
Pergi sebatas ke kampus dan
urusan penting lain saja?
Pulang sebelum maghrib?
Padahal praktikum saja selesai menjelang maghrib. Acara buka bersama dimulai
saat adzan maghrib.
Saya tidak habis pikir.
Entah itu bentuk kepedulian, ketakutan, atau apa.
Iya, saya sangat suka keluyuran.
Saya malas di rumah kalau kerjaan tidak jelas, hanya menunggu disuruh ini dan
disuruh itu. Saya suka menghabiskan waktu di luar rumah entah itu untuk rapat,
jalan-jalan, atau bahkan sekedar makan-makan dan ngobrol dengan teman-teman.
Saya suka keluar sampai malam. Oh, jangan dikira saya jenis perempuan yang main
sampai tengah malam. Malam nya saya itu hanya sampai jam 9. Selebihnya saya
sendiri memang agak takut pulang malam karena beberapa hal.
Tapi apa?
Saya benar-benar merasa
terkekang.
Terlebih melihat kehidupan lain, melihat teman-teman saya yang
kehidupannya normal. Diatur, tetapi tetap mendapat hak kebebasannya. Saya hanya
ingin sama dengan yang lain. Saya tidak pernah menuntut untuk setiap hari
diijinkan keluar, pada awalnya. Saya tidak pernah keluyuran untuk hal
aneh-aneh. Saya rasa seharusnya orang tua saya bersyukur saya tidak terjerumus
ke hal-hal buruk seperti rokok, minuman keras, atau narkoba. Saya pikir
seharusnya orang tua saya menghargai usaha saya pada awalnya untuk selalu ijin
dan jujur setiap kali ingin pergi keluar. Tapi apa? Sejak awal mereka tidak
pernah memberi kepercayaan pada saya, akhirnya saya juga jenuh. Untuk apa saya
selalu ijin sebelum saya pergi kalau hampir setiap ijin ditolak? Untuk apa saya
mengatakan tujuan pergi saya yang sebenarnya kalau setiap kalinyan untuk
bertemu teman-teman atau sekedar makan-makan dengan teman lama ijinnya sulitnya
minta ampun? Hanya karena menurut ibu
saya hal itu adalah hal yang tidak berguna. Lalu apa yang diinginkan orang
tua saya? Saya menjauh dari pergaulan sosial hanya karena interaksi di dalamnya
hanya berupa “ngobrol-ngobrol nggak jelas tanpa membawa manfaat” atau “sekedar
jalan-jalan nggak berguna” ? Iya?
Saya bingung. Saya kesal.
Saya bosan. Saya lelah. Saya muak.
Bertahun-tahun seperti ini.
Saya kira dengan bertambahnya usia saya, orang tua saya akan semakin mudah
melepas saya. Melepas dalam artian mempercayai saya untuk hidup mandiri,
menjalani hidup berdasar keputusan sendiri yang jika ada resikonya pun harus saya
tanggung sendiri. Orang mungkin akan berpikir secara dangkal, “Oh kamu digituin
pasti karena kamu nggak bisa dipercaya sama orangtuamu/nggak bisa jaga
kepercayaan orangtuamu”
Mau tau tanggapan saya untuk
tanggapan macam itu?
A N D A S O K
T A H U.
Terlepas dari saya anak
pertama dan anak perempuan.....
Orang tua saya sejak awal tidak
pernah memberi kepercayaan, bahkan tida juga kesempatan untuk membuktikan bahwa
saya bisa dipercaya. Sejak awal proteksi yang saya terima selalu berlebihan dan
sejujurnya saya merasa bahwa untuk masa depan saya itu kurang baik. Saya jadi
tidak mandiri. Banyak hal yang saya tidak tahu karena saya tidak diberi
kesempatan untuk mengalaminya. Misalnya, saya tidak diberi kepercayaan untuk
memiliki rekening sendiri padahal saya ‘dipaksa’ untuk merasakan susahnya cari
uang dengan melakukan pekerjaan yang tidak saya minati. Jangankan rekening,
saya tidak pernah diberi uang yang dibatasi dalam jangka waktu bulanan seperti
teman-teman lain. Sepintas terlihat enak, setiap hari diberi uang. Setiap habis
pasti diberi. Iya, enak, jangka pendek. Jangka panjangnya? Saya tidak terlatih
untuk hemat dan me-manage uang dalam jumlah besar. Saya tidak pernah merasakan
harus menghitung pengeluaran untuk berbagai hal dalam waktu bersamaan, saya
tidak pernah tahu rasanya persediaan uang menipis di akhir bulan, saya tidak
pernah tahu rasanya ketika hanya punya uang sedikit tapi keperluan di kampus
menuntut untuk mengeluarkan uang banyak, saya tidak pernah merasakan penantian
dikirimi uang lewat ATM oleh orang tua. Sejujurnya saya bisa menabung. Awalnya
saya rajin menabung sisa uang hasil berhemat saya. Tapi lama kelamaan saya
merasa useless. Ketika saya menggunakan uang tabungan untuk membeli hal yang
saya inginkan, sering hal itu menuai protes dari orang tua terutama ibu. Karena
menurut ibu saya apa yang saya beli
itu tidak penting. Tapi saya rasa, itu hasil usaha saya sendiri, saya berhemat
dan mengorbankan kepentingan hura-hura di awal untuk mencapai sesuatu yang saya
inginkan. Bukan masalah apa yang saya beli, tapi saya berlatih untuk berusaha
dalam mencapai sesuatu yang diinginkan. Saya pikir begitu. Tapi ya bagaimana
lagi, menurut ibu saya tidak penting
ya sudah....
Contoh lain adalah hal yang
sedang terjadi, hal yang membuat saya niat untuk menyelesaikan post ini.
Tentang: KERJA PRAKTEK.
Singkat cerita, saya kuliah
di Teknologi Industri Pertanian yang pada akhir semester 5 nanti akan menempuh
kerja praktek berupa magang di perusahaan-perusahaan yang mengolah hasil
pertanian. Bagi yang sama sekali tidak tahu, gampangnya kami ini akan ke
industri makanan/minuman. Apapun jenisnya.
Masalahnya?
Perusahaan-perusahaan besar
banyak terdapat di luar Jogja. Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sekitar Jakarta.
Premis 1: Saya anak
perempuan.
Premis 2: Menurut orang tua
saya, perempuan tidak usah jauh-jauh dari rumah.
Premis 3: Rumah saya di
Jogja.
Premis 4: Perusahaan tempat
jatek jauh dari Jogja.
Kesimpulan: Saya harus jatek
di Jogja saja.
Masalah?
Saya menginginkan suasana
baru, saya ingin mencoba hidup mandiri jauh dari orang tua, saya ingin mencoba
bertanggung jawab dengan hidup saya sendiri. Dengan kerja praktek di luar
Jogja, saya pasti harus kos. Saya harus megurus keuangan sendiri selama
sebulan. Saya harus mengurus semuanya tanpa intervensi orang tua. Seperti
kehidupan teman-teman kuliah saya sekarang yang berasal dari luar Jogja. Bukan
kehidupan yang bisa dibilang menyenangkan; kekurangan uang di akhir bulan,
kangen rumah (jujur, yang paling akan saya rindukan saat saya jauh dari rumah hanyalah
adik saya), kesepian di kos, beli makanan sendiri, dan banyak hal yang lain. Tapi
saya butuh itu. Saya butuh semua itu untuk berlatih mandiri dan bertanggung
jawab terhadap hidup saya sendiri. Untuk apa saya menerima segala teori hidup
jika prakteknya nol besar? Suatu saat saya pasti akan jauh dari orang tua saya.
Entah itu untuk kuliah di luar negri, atau jika ada pekerjaan yang mengharuskan
saya ke luar kota, dan yang jelas suatu saat saya akan menikah dan memiliki
keluarga sendiri yang terpisah dari orang tua. Jika saya selalu ‘dikendalikan’
dan tidak pernah diberi kesempatan untuk merasakan hidup mandiri, saya khawatir
terhadap diri saya sendiri di masa depan. Apa saya bisa langsung siap di
kehidupan mandiri yang sesungguhnya besok? Saya sendiri tidak yakin, saya
merasa perlu latihan untuk itu. Dan sayangnya, saya kehilangan kesempatan di
waktu dekat ini. Saya sebenarnya mengajukan proposal untuk kerja praktek di
sebuah perusahaan multinasional di kota besar yang jauh dari Jogja, sudah ada
link, dan saya membawa nama almamater yang insya Allah memudahkan jalan saya
untuk tembus ke sana. Tapi saya rasa sekarang itu semua tidak ada gunanya. Ijin
saja tidak saya dapat, buat apa? Ibu saya tidak berani melepas saya jauh-jauh.
Entah karena khawatir saya ini anak pertama, ataukah karena saya anak
perempuan. Alasan mana yang lebih kuat saya juga tidak tahu.
Ini hidup saya, saya yang
menjalani. Saya punya pendapat, saya mengenal diri saya, saya bisa berpikir dan
melihat keadaan sekitar, seharusnya saya bisa turut andil dalam menentukan
jalan hidup saya. Saya ini manusia, bukan robot yang arah geraknya harus selalu
dikendalikan, bukan boneka yang bisa tetap tersenyum apapun yang dia alami.
Saya memang anak pertama,
perempuan. Lalu? Apakah segala kekhawatiran terkait kedua hal itu merupakan
alasan yang cukup kuat dan logis untuk menepikan keinginan pribadi saya?
Tulisan ini sesungguhnya adalah kata hati yang terpendam untuk kedua orang tua saya, yang selalu gagal memahami cara berpikir dari sudut pandang saya.
0 comments