ACARA 2 - ANALISA KOAGULASI DAN FLOKULASI

LAPORAN PRAKTIKUM
PENGENDALIAN LIMBAH INDUSTRI
ACARA II
ANALISA KOAGULASI DAN FLOKULASI
TAHUN AJARAN 2013/2014


DISUSUN OLEH:
Nama
NIM
Hari/Tanggal
Kelompok
Asisten
: Nurul Hadiqah As-Sa’adah
: 11/318960/TP/10200
: Selasa, 01 April 2014
: D1
: Budi Santoso


LABORATORIUM REKA INDUSTRI DAN
PENGENDALIAN PRODUK SAMPING
JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
 2014




BAB I
PENDAHULUAN

A.      Judul Praktikum
Analisa Koagulasi dan Flokulasi

B.       Tujuan Praktikum
1.      Mahasiswa dapat mengetahui metode dan proses koagulasi dan flokulasi.
2.      Menentukan pemberian dosis koagulan yang optimum pada sampel limbah cair.

C.      Manfaat Praktikum
1.      Metode dan proses koagulasi serta flokulasi dapat diketahui sehingga mahasiswa dapat melakukan analisa dengan tepat.
2.      Dosis koagulan yang optimum untuk limbah dapat diketahui sehingga nantinya dapat diaplikasikan dalam skala yang lebih besar.





BAB II
DASAR TEORI

Proses pengendapan berkaitan dengan proses koagulasi dan flokulasi. Koagulasiadalah peristiwa pembentukan ataupenggumpulan partikel-partikel kecil menggunakan zat koagulan. Flokulasi adalahperistiwa pengumpulan partikel-partikel kecilhasil koagulasi menjadi flok yang lebih besarsehingga cepat mengendap. Tawas dan kapurmerupakan zat koagulan dan flokulan yangtelah banyak digunakan dalam proses koagulasi (Putra, 2009).
Pengolahan konvensional yang berbasis pada teknologi konvensional seperti koagulasi-flokulasi, sedimentasi dan filtrasi sering kali kurang efektif atau gagal untuk mengolah dengan hasil sesuai dengan baku mutu yang diharapkan. Untuk itu diperlukan teknologi alternatif untuk mengolah air baku tersebut. Membran Ultrafiltrasi diduga mampu menurunkan parameter seperti zat organik dan kekeruhanmenggunakan membran ultrafiltrasi untuk menyisihkan konsentrasi senyawa organik dalam air gambut (Notodarmojo, 2004).
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses koagulasi dan flokulasi antara lain sebagai berikut (Manurung, 2012) :
1.      Suhu
Suhu berkaitan dengan pH optimal cairan, di mana proses koagulasi dinyatakan dapat berjalan baik jika pH air baku olahan (ABO) berkisar 8-10. Jika ABO tidak dalam kisaran tersebut maka penambahan koagulan ke dalam ABO tidak ekonomis karena koagulan tidak bekerja optimal.
2.      Bentuk koagulan
Secara ekonomis, laju pencampuran akan lebih efektif jika koagulan diberikan pada keadaan cair dibandingkan dalam bentuk padat.
3.      Tingkat kekeruhan
Pada tingkat kekeruhan rendah, destabilisasi sulit terjadi. Jadi akan lebih mudah jika koagulasi dilakukan pada tingkat kekeruhan yang tinggi.
4.      Kecepatan pengadukan
Pengadukan bertujuan untuk mempercepat kontak antara kandungan suspensi (koloid) dalam ABO dengan koagulan yang ditambahkan. Jika pengadukan lambat, pengikatan akan berlangsung tepat sasaran sehingga flok yang terbentuk juga sedikit dan akibatnya proses penjernihan tidak maksimal. Demikian halnya jika pengadukan berlangsung terlalu cepat, maka kemungkinan flok yang terbentuk akan terurai kembali.
Pengadukan campuran dibagi menjadi 2 berdasarkan kecepatan pengadukannya yaitu pengadukan cepat dengan kecepatan 120 rpm dan pengadukan lambat dengan kecepatan 40 rpm. Pengadukan cepat dilakukan selama 2 menit yang dihitung sejak penambahan koagulan. Pengadukan cepat ini bertujuan untuk menghasilkan dispersi yang seragam dari partikel-partikel koloid dan untuk meningkatkan kesempatan partikel untuk kontak dan bertumbukan satu sama lain. Sedangkan pengadukan lambat dilakukan dengan waktu pengadukan yang divariasikan mulai dari 5 hingga 25 menit, yang dimulai tepat setelah pengadukan cepat selesai. Pengadukan lambat ini berujuan untuk menggumpalkan partikel-partikel terkoagulasi berukuran mikro menjadi partikel-partikel flok yang lebih besar. Flok-flok ini kemudian akan beragregasi dengan partikel-partikel tersuspensi lainnya. Pengadukan pelan akan memperpendek jarak antar partikel sehingga gaya tarik menarik antar partikel menjadi lebih besar dan dominan dibanding gaya tolaknya, yang menghasilkan kontak dan tumbukan antar partikel yang lebih banyak dan lebih sering. Kontak inilah yang menggumpalkan partikel-partikel padat terlarut terkoagulasi berukuran mikro menjadi partikel flok yang lebih besar. Ketika pertumbuhan flok sudah cukup maksimal massa dan ukurannya flok-flok ini akan mengendap ke dasar reservoir sehingga terbentuk 2 lapisan yaitu lapisan air jernih pada bagian atas reservoir dan lapisan endapan flok yang menyerupai lumpur pada dasar reservoir (Karamah, 2014).
Koagulasi adalah proses penambahan zat kimia (koagulan) yang memiliki kemampuan untuk menjadikan partikel kolid tidak stabil sehingga partikel siap membentuk flok (gabungan partikel-partikel kecil). Flokulasi adalah proses pembentukan dan penggabungan flok dari partikel-partikel tersebut yang menjadikan ukuran dan beratnya lebih besar sehingga mudah mengendap. Proses koagulasi dan flokulasi pada skala laboratorium dilakukan dengan peralatan jar test. Beberapa senyawa koagulan yang biasa digunakan adalah tawas, senyawa besi, PAC (poli alumunium klorida) dan lain-lain (Wagiman, 2014).
Koagulasi adalah penurunan daya larut molekul-molekul protein atau perubahan bentuk dan cairan (sol) menjadi bentuk padat atau semi padat (gel). Koagulasi dapat disebabkan oleh panas, pengocokan, garam, asam, basa, dan pereaksi lain seperti urea (Purwaningsih, 2007).
Koagulasi merupakan proses penggumpalan melalui reaksi kimia. Reaksi koagulasi dapat berjalan dengan membutuhkan zat pereaksi (koagulan) sesuai dengan zat yang terlarut. Koagulan yang banyak digunakan adalah tawas, kapur, dan kaporit. Dari hasil reaksi koagulan itu selanjutnya endapan dipisahkan melalui filtrasi atau sedimentasi. Banyaknya koagulan tergantung pada jenis dan konsentrasi ion-ion yang larut dalam air olahan serta konsentrasi yang diharapkan sesuai dengan standar baku. Untuk mempercepat proses koagulasi dalam air limbah maka dilakukan pengadukan dengan static mixer maupun rapid mixer (Kusnaedi, 2010).
Koagulasi adalah metode untuk menghilangkan bahan-bahan limbah dalam bentuk koloid, dengan menambahkan koagulan. Dengan koagulasi, partikel-partikel koloid akan saling menarik dan menggumpal membentuk flok. Flokulasi terjadi setelah koagulasi dan berupa pengadukan pelan pada air limbah. Dengan mengendapnya koloid, diharapkan laju fouling yang terjadi pada membran akan berkurang sehingga penggunaan mikrofiltrasi dalam proses pengolahan air bersih menjadi layak untuk dilakukan (Karamah, 2014).
Proses koagulasi tidak berbeda dengan proses mekanis, tetapi pada proses ini ditambahkan koagulan, yaitu bahan kimia yang dapat mempercepat proses pengendapan partikel dan menurunkan kadar karbonat dalam air. Proses koagulasi merupakan proses penggumpalan partikel yang larut dalam air (Subarnas, 2007).
Koagulasi terhadap air dilaksanakan karena beberapa alasan. Alasan utama adalah untuk menghilangkan (Manurung, 2012):
1.      Kekeruhan, bahan organik dan anorganik
2.      Warna
3.      Bakteri
4.      Algae dan organisme lain sebagai plankton
5.      Rasa dan bahan-bahan penyebab rasa
6.      Fosfat, sebagai sumber makanan bagi algae
Koagulasi dapat terjadi karena pengaruh pemanasan, pendinginan, penambahan elektrolit, pembusukan, pencampuran koloid yang berbeda muatan, atau karena elektroforesis. Elektroforesis dapat menyebabkan koagulasi karena endapan pada salah satu elektrode semakin lama semakin pekat dan akhirnya membentuk gumpalan. Beberapa proses koagulasi yang sengaja dilakukan dalam kehidupan sehari-hari antara lain perebusan telur, pembuatan yoghurt, pembuatan tahu, pembuatan lateks, dan penjernihan air sungai (Sutresna, 2007).
Mekanisme terjadinya koagulasi dikelompokkan atas teori kimia dan teori fisika. Teori kimia menyatakan bahwa koloid memperoleh muatan listrik pada permukaannya oleh ionisasi gugus kimia dan koagulasi terjadi karena interaksi kimia di antara partikel koloid dan koagulan. Muatan partikel-partikel koloid penyebab kekeruhan di dalam air adalah sejenis, oleh karena itu jika kekuatan ionik di dalam air rendah, maka koloid akan tetap stabil. Stabilitas merupakan daya tolak koloid karena partikel-partikel mempunya permukaan muatan sejenis. Sedangkan teori fisika menekankan terutama terhadap faktor fisik sebagai lapisan listrik ganda dan adsorbsi counter ion di mana koagulasi terjadi melalui pengurangan gaya sebagaimana halnya beda potensial. Partikel koloid menyerap ion-ion positif, ion-ion ini kemudian menyerap ion negatif tetapi jumlahnya yang diserap lebih sedikit dari ion positif yang ada sehingga terjadi lapisan listrik ganda. Antara permukaan partikel koloid dan larutan terjadi beda potensial elektrokinetik sedangkan ion-ion positif dan negatif di luar lapisan listrik ganda dapat bergerak bebas di dalam larutan (Manurung, 2012).
Koagulan yang sering digunakan untuk mengendapkan limbah adalah alum, feri sulfat, feri klorida, dan kapur. Alum akan bereaksi dengan bahan yang bersifat basa dan membentuk alumunium hidroksida yang tidak dapat larut dan mengkoagulasi partikel koloid. Kapur akan bereaksi dengan bikarbonat dan membentuk kalsium karbonat yang akan mengendap. Kalsium karbonat yang tidak larut akan terbentuk pada pH di atas 9,5. Garam-garam feri digunakan untuk meningkatkan daya endap dari feri hidroksida yang akan membentuk endapan dalam limbah dan meningkatkan laju sedimentasi dari partikel lainnya yang ada dalam limbah tersebut. Penggunaan koagulan untuk mengendapkan fosfat pada limbah peternakan menunjukkan hasil yang layak secara teknis dan ekonomis. Pada limbah-limbah peternakan setiap penambahan padatan tersuspensi antara 0,5-1,0 mg/L akan meningkatkan kebutuhan bahan kimia koagulan 1 mg/L (Jenie, 1993).
Bahan kimia yang dapat mengendapkan disebut koagulan. Bahan ini dapat mengendapkan partikel-partikel koloid. Dengan penambahan koagulan, partikel-partikel koloid yang sebelumnya melayang-layang dalam air akan diikat menjadi partikel besar yang disebut flok. Dengan ukuran partikelnya yang besar, flok dapat mengendap karena gaya gravitasi. Dalam pemakaian bahan kimia koagulan disebut juga flokulan. Beberapa koagulan anorganik yang banyak digunakan dalam pengolahan air atau limbah cair di antaranya alumunium sulfat (alum), polialumunium klorida (PAC), besi sulfat (II), besi klorida (II), dan lain-lain. Selain koagulan anorganik, tersedia pula alternatif lokal sebagai koagulan organik alami dari tanaman yang mudah diperoleh. Koagulan alami ini biodegradable dan aman bagi kesehatan manusia. Biji kelor telah dilaporkan efektif sebagai koagulan untuk menurunkan kekeruhan pada limbah cair kelapa sawit. Biji kelor juga tidak mengandung senyawa toksik sehingga aman bagi kesehatan. Pemanfaatan bahan-bahan koagulan alami seperti biji kelor dimungkinkan dapat menggantikan bahan koagulan sintetis seperti alum sehingga permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan industri dapat teratasi (Manurung, 2012).
Koagulan digunakan untuk menggumpalkan bahan-bahan yang ada dalam air limbah menjadi flok yang mudah untukdipisahkan yaitu dengan cara diendapkan, diapungkan dan disaring. Pada beberapa pabrikcara ini dilanjutkan dengan melewatkan air limbah melalui Zeolit (suatu batuan alam) danarang aktif (karbon aktif). Cara koagulasi umumnya berhasil menurunkan kadar bahanorganik (COD,BOD) sebanyak, 40-70 % Zeolit dapat menurunkan nilai COD 10-40%,dan karbon aktif dapat menurunkan nilai COD 10-60 % (Risdianto, 2007).
Pada banyak koloid, partikel mempunyai muatan bersih positif atau negatif pada permukaannya, diimbangi oleh muatan ion lawannya dalam larutan. Pemisahan koloid semacam ini dipercepat oleh pelarutan garam dalam larutan itu. Proses tersebut dinamakan flokulasi (Oxtoby, 2001).
Proses flokulasi adalah agregasi atau berkumpulnya partikel-partikel kecil dalam sebuah suspensi, menjadi partikel-partikel yang lebih besar yang disebut flok. Flokulasi disebabkan oleh adanya penambahan sejumlah kecil bahan kimia yang disebut sebagai flokulan. Flokulan dapat dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu flokulan organik dan flokulan anorganik. Di antara flokulan-flokulan anorganik, garam-garam dari berbagai logam seperti alumunium dan besi telah banyak digunakan. Flokulan organik dapat dibagi lagi menjadi 2 jenis yaitu sintetik dan alami. Flokulan sintetik umumnya merupakan polimer linear yang larut dalam air seperti polyacrylamide, poly(acrylic acid), poly(diallyl dimethil ammonium chloride), poly(styrenic sulfonic acid), dan sebagainya. Di sisi lain, pati, selulosa, alginic acid, guar gum, adalah polimer alami yang sangat sering digunakan sebagai flokulan.
Tujuan dari flokulasi adalah untuk menciptakan partikel yang lebih besar yang kompatibel dengan proses selanjutnya seperti menetap atau flotasi. Flokulasi objektif, sebagai proses unit pengolahan air, adalah untuk menyebabkan tabrakan antara partikel kecil. Setelah pendinginan, premis adalah bahwa partikel akan menempel satu sama lain dan dengan demikian menggumpal, tumbuh beberapa ukuran yang diinginkan dan menjadi flok. Proses aglomerasi disebut flokulasi. Pada prinsipnya, flokulasi merupakan kasus khusus pencampuran. Pada risiko beberapa redundansi, flokulasi dianggap di sini sebagai topik yang terpisah untuk menyalahkan identitas itu sendiri (Hendricks, 2006).
Dalam proses pemurnian air atau purifikasi dengan metode sand filter, terdapat beberapa tahapan salah satunya adalah koagulasi dan flokulasi. Dalam proses koagulasi, air sungai yang telah disedot diberi zat koagulasi kimia, misalnya alum dengan dosis bervariasi antara 5-40 mg/L bergantung pada turbiditas, warna, suhu, dan pH airnya. Di dalam bak flokulasi, air yang telah bercampur dengan alum diputar pelan-pelan selama 30 menit untuk mengendapkan alumunium hidroksida yang berbentuk benda berwarna putih dalam air (Chandra, 2010).
Pemekatan terhadap sampel limbah dilakukan dengan beberapa jenis flokulan yaitu AL2(SO4)3, I8H2O, Ca(OH)2, dan FeSO4. I8H2O dalam suasana basa akan membentuk flok berwarna putih dari Al(OH)3 yang bersifat elektropositif (Sudiyati, 2014).
Kecepatan pengendapan dipengaruhi oleh berat jenis partikel, berat jenis cairan, gravitasi, konstanta, dan viskositas. Pengaruh ini dinyatakan dalam formula sebagai berikut:
Di mana V = kecepatan pengendapan,  = berat jenis partikel,  = berat jenis cairan, K = konstanta, dan  = viskositas (Anggreini, 2008).
Jar test telah digunakan selama puluhan tahun oleh operator pabrik pengolahan air untuk mengembangkan informasi tentang dosis kimia yang harus digunakan untuk acheve koagulasi yang efektif dan sedimentasi. Banyak utilitas air dengan menggunakan jar test telah mengembangkan modifikasi atau variasi untuk beradaptasi prosedur ini dengan kondisi spesifik yang dihadapi di pabrik mereka. Bagian dasar peralatan yang dibutuhkan untuk jar test adalah multi-place stirrer. Jenis stirrer termasuk dayung persegi panjang dipasang pada poros panjang dan didorong dari atas tabung dengan mekanisme roda gigi, dan dayung persegi panjang dipasang pada berdiri dalam tabung uji dan diputar oleh magnet terletak di mekanisme driver di mana tabung ditempatkan (Logsdon, 2002).
Operator dengan prosedur jar test yang sukses biasanyamenggunakan parameter teoritis sebagai titik awal dan kemudian membuat sedikit penyesuaian dengan trial and error sampai hasil skala penuh secara akurat disimulasikan oleh jar test. Meskipun jar test sering dilakukan sebagai bagian dari "enhanced coagulation" persyaratan. Dalam hal ini, tidak ada usaha yang dibuat untuk mensimulasikan kondisi pabrik skala penuh. Jar test “enhanced coagulation” ini harus dilakukan dalam kondisi standar tertentu dan digunakan untuk menentukan alternatif total kebutuhan karbon organik (TOC) removal untuk tanaman tertentu (AWWA, 1992).



BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

A.      Alat dan Bahan
Alat:
1.         Seperangkat alat jar test
2.         Buret dan statif
3.         Gelas beaker 1000 ml 4 buah
4.         Gelas beaker 500 ml 2 buah untuk wadah NaOH saat titrasi
5.         Gelas ukur 100 ml 8 buah untuk wadah NaOH dan tawas
6.         Pipet ukuran 10 ml dan pipet biasa
7.         Kertas indikator pH
8.         Kuvet 4 buah
9.         Tissue
10.     Spektrofotometer

Bahan:
1.         Larutan koagulan: Dilarutkan 10 gram koagulan tawas di dalam 1 liter aquadest
2.         NaOH 0,1 N
3.         Indikator PP
4.         Sampel limbah cair

B.       Cara Kerja
PROSEDUR
HASIL
a.   Pengaturan pH sampel sebelum jar test.
1.      Tawas bekerja optimum pada pH 6-8.

2.      100 ml sampel dituangkan ke dalam gelas beaker 250 ml.
 



3.      pH larutan diukur dengan indikator pH.


4.      Jika larutan bersifat basa (pH>7), larutan dititrasi dengan menggunakan buret dengan larutan HCl 0,1 N sampai pH 7. Jumlah titran dicatat.


5.      Jika larutan bersifat asam (pH<7), larutan dititrasi dengan menggunakan buret dengan larutan NaOH 0,1 N sampai pH 7. Jumlah titran dicatat.
 


6.      Untuk sampel dalam jar test sebanyak 6000 ml, jumlah titran dikalikan 6.
b.   Percobaan jar test.
1.      4 buah gelas beaker berukuran 1000 ml disiapkan dan ditempatkan pada alat jar test.


2.      Sampel limbah cair dimasukkan ke dalam masing-masing gelas beaker sebanyak 600 ml.
 


3.      Stopwatch disiapkan.


4.      Alat jar test dinyalakan dengan menekan tombol POWER.
 


5.      Pengatur waktu pada alat jar test diputar pada angka 16 menit.


6.      Kecepatan putaran diset pada 100 rpm.


7.      Larutan NaOH/HCl yang dibutuhkan kemudian dimasukkan supaya sampel berada pada pH optimum untuk tawas yaitu 6-8 (sesuai percobaan pH).
 


8.      Koagulan tawas 10; 20; dan 30 ml dimasukkan ke dalam 3 beaker secara bersamaan, lalu stopwatch dihidupkan. Campuran diaduk dengan kecepatan 100 rpm selama 1 menit.
 


9.      Dilanjutkan pengadukan lambat dengan kecepatan 20 rpm selama 15 menit. Diamati pembentukan flok yang terjadi.

10.  Setelah 15 menit, alat dihentikan dan flok dibiarkan mengendap selama 30 menit.


11.  Cairan yang bening diambil dan diukur TSS nya dengan menggunakan portable spektrofotometer.


12.  Nilai TSS dicatat.


Sampel yang digunakan memiliki pH 6-8.

3.      Terdapat 100 ml sampel dalam gelas beaker 250 ml.


pH larutan diketahui bersifat asam.



Larutan tidak dititrasi dengan HCl karena tidak bersifat basa.





Larutan dititrasi dan volume NaOH yang digunakan terukur sebanyak 20 ml.




Jumlah NaOH (titran) yang digunakan adalah 20x6 = 120 ml.


4 buah gelas beaker 1000 ml telah siap  digunakan.



Dalam masing-masing gelas beaker terdapat 600 ml sampel limbah cair tahu.


Stopwatch siap digunakan untuk melakukan pengukuran waktu.

Alat jar test telah menyala dan siap digunakan.


Alat jar test tidak akan beroperasi lebih dari 16 menit.


Jar test siap digunakan dalam kecepatan 100 rpm.


Sampel dalam gelas beaker telah berada dalam pH optimum yaitu 6-8.






Ketiga gelas sampel (yang 1 adalah kontrol sehingga tidak diberi tawas) telah bercampur tawas dengan volume yang berbeda dan mengalami pengadukan 100 rpm selama 1 menit.




Sampel mengalami pengadukan lambat 20 rpm selama 15 menit dan mulai terbentuk flok.


Flok mulai mengendap di dasar gelas beaker.



4 buah kuvet terisi dengan 4 jenis sampel dari 4 gelas beaker yang berbeda yang berupa air jernih tanpa endapan.


Nilai TSS diketahui sebagai berikut:
Sampel kontrol = >1000 mg/L
Sampel dengan 10 ml tawas = 801 mg/L
Sampel dengan 20 ml tawas = 786 mg/L
Sampel dengan 30 ml tawas = >1000 mg/L




BAB IV
                                        HASIL DAN PEMBAHASAN

A.           Hasil
NO
SAMPEL
VOLUME TITRAN (NaOH) (ml)
VOLUME TAWAS (ml)
TSS (mg/L)
Ambang Batas TSS (mg/L)
1
Limbah cair tahu 600 ml
27
0
>1000
100
2
Limbah cair tahu 600 ml
27
10
801
100
3
Limbah cair tahu 600 ml
27
20
786
100
4
Limbah cair tahu 600 ml
27
30
>1000
100


B.            Pembahasan
Praktikum Pengendalian  Limbah Industri acara 3 ini berjudul Analisa Koagulasi dan Flokukasi. Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui metode dan proses koagulasi dan flokulas, serta menentukan pemberian dosis koagulan yang optimum pada sampel limbah cair.
Pengolahan konvensional yang berbasis pada teknologi konvensional seperti koagulasi-flokulasi, sedimentasi dan filtrasi sering kali kurang efektif atau gagal untuk mengolah dengan hasil sesuai dengan baku mutu yang diharapkan. Untuk itu diperlukan teknologi alternatif untuk mengolah air baku tersebut. Membran Ultrafiltrasi diduga mampu menurunkan parameter seperti zat organik dan kekeruhanmenggunakan membran ultrafiltrasi untuk menyisihkan konsentrasi senyawa organik dalam air gambut.
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses koagulasi dan flokulasi antara lain sebagai berikut :
1.      Suhu
Suhu berkaitan dengan pH optimal cairan, di mana proses koagulasi dinyatakan dapat berjalan baik jika pH air baku olahan (ABO) berkisar 8-10. Jika ABO tidak dalam kisaran tersebut maka penambahan koagulan ke dalam ABO tidak ekonomis karena koagulan tidak bekerja optimal.
2.      Bentuk koagulan
Secara ekonomis, laju pencampuran akan lebih efektif jika koagulan diberikan pada keadaan cair dibandingkan dalam bentuk padat.
3.      Tingkat kekeruhan
Pada tingkat kekeruhan rendah, destabilisasi sulit terjadi. Jadi akan lebih mudah jika koagulasi dilakukan pada tingkat kekeruhan yang tinggi.
4.      Kecepatan pengadukan
Pengadukan bertujuan untuk mempercepat kontak antara kandungan suspensi (koloid) dalam ABO dengan koagulan yang ditambahkan. Jika pengadukan lambat, pengikatan akan berlangsung tepat sasaran sehingga flok yang terbentuk juga sedikit dan akibatnya proses penjernihan tidak maksimal. Demikian halnya jika pengadukan berlangsung terlalu cepat, maka kemungkinan flok yang terbentuk akan terurai kembali.
Pengadukan campuran dibagi menjadi 2 berdasarkan kecepatan pengadukannya yaitu pengadukan cepat dan pengadukan lambat. Dalam praktikum ini, pengadukan cepat dilakukan dengan kecepatan 100 rpm selama 1 menit saja sedangkan pengadukan lambat dilakukan dengan kecepatan 20 rpm selama 15 menit, sehingga total waktu pengadukan adalah 16 menit. Pengadukan lambat ini berujuan untuk menggumpalkan partikel-partikel terkoagulasi berukuran mikro menjadi partikel-partikel flok yang lebih besar. Flok-flok ini kemudian akan beragregasi dengan partikel-partikel tersuspensi lainnya. Pengadukan pelan akan memperpendek jarak antar partikel sehingga gaya tarik menarik antar partikel menjadi lebih besar dan dominan dibanding gaya tolaknya, yang menghasilkan kontak dan tumbukan antar partikel yang lebih banyak dan lebih sering. Kontak inilah yang menggumpalkan partikel-partikel padat terlarut terkoagulasi berukuran mikro menjadi partikel flok yang lebih besar. Ketika pertumbuhan flok sudah cukup maksimal massa dan ukurannya flok-flok ini akan mengendap ke dasar reservoir sehingga terbentuk 2 lapisan yaitu lapisan air jernih pada bagian atas reservoir dan lapisan endapan flok yang menyerupai lumpur pada dasar reservoir.
Koagulasi adalah proses penambahan zat kimia (koagulan) yang memiliki kemampuan untuk menjadikan partikel kolid tidak stabil sehingga partikel siap membentuk flok (gabungan partikel-partikel kecil). Flokulasi adalah proses pembentukan dan penggabungan flok dari partikel-partikel tersebut yang menjadikan ukuran dan beratnya lebih besar sehingga mudah mengendap. Proses koagulasi dan flokulasi pada skala laboratorium dilakukan dengan peralatan jar test.
Koagulasi merupakan proses penggumpalan melalui reaksi kimia. Reaksi koagulasi dapat berjalan dengan membutuhkan zat pereaksi (koagulan) sesuai dengan zat yang terlarut. Koagulan yang banyak digunakan adalah tawas, kapur, dan kaporit. Dari hasil reaksi koagulan itu selanjutnya endapan dipisahkan melalui filtrasi atau sedimentasi. Banyaknya koagulan tergantung pada jenis dan konsentrasi ion-ion yang larut dalam air olahan serta konsentrasi yang diharapkan sesuai dengan standar baku. Untuk mempercepat proses koagulasi dalam air limbah maka dilakukan pengadukan dengan static mixer maupun rapid mixer .
Koagulan yang sering digunakan untuk mengendapkan limbah adalah alum, feri sulfat, feri klorida, dan kapur. Alum akan bereaksi dengan bahan yang bersifat basa dan membentuk alumunium hidroksida yang tidak dapat larut dan mengkoagulasi partikel koloid. Kapur akan bereaksi dengan bikarbonat dan membentuk kalsium karbonat yang akan mengendap. Kalsium karbonat yang tidak larut akan terbentuk pada pH di atas 9,5. Garam-garam feri digunakan untuk meningkatkan daya endap dari feri hidroksida yang akan membentuk endapan dalam limbah dan meningkatkan laju sedimentasi dari partikel lainnya yang ada dalam limbah tersebut. Penggunaan koagulan untuk mengendapkan fosfat pada limbah peternakan menunjukkan hasil yang layak secara teknis dan ekonomis. Pada limbah-limbah peternakan setiap penambahan padatan tersuspensi antara 0,5-1,0 mg/L akan meningkatkan kebutuhan bahan kimia koagulan 1 mg/L.
Proses flokulasi adalah agregasi atau berkumpulnya partikel-partikel kecil dalam sebuah suspensi, menjadi partikel-partikel yang lebih besar yang disebut flok. Flokulasi disebabkan oleh adanya penambahan sejumlah kecil bahan kimia yang disebut sebagai flokulan. Flokulan dapat dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu flokulan organik dan flokulan anorganik. Di antara flokulan-flokulan anorganik, garam-garam dari berbagai logam seperti alumunium dan besi telah banyak digunakan. Flokulan organik dapat dibagi lagi menjadi 2 jenis yaitu sintetik dan alami. Flokulan sintetik umumnya merupakan polimer linear yang larut dalam air seperti polyacrylamide, poly(acrylic acid), poly(diallyl dimethil ammonium chloride), poly(styrenic sulfonic acid), dan sebagainya. Di sisi lain, pati, selulosa, alginic acid, guar gum, adalah polimer alami yang sangat sering digunakan sebagai flokulan.
Polyacrylamide (PAM), poly alumunium chloride (PAC), dan kopolimernya merupakan polimer yang baik untuk pengolahan limbah cair industri. PAC adalah flokulan anorganik yang sering dipakai dalam pemurnian air limbah industri serta memiliki kemampuan dalam memurnikan limbah industri percetakan dan pewarnaan. Kelompok PAC, PAM, dan kopolimernya merupakan polimer yang sering digunakan dalam berbagai aplikasi. Umumnya digunakan sebagai flokulan untuk menjernihkan air minum dan pengolahan air limbah. Dalam praktikum ini, digunakan koagulan berupa tawas.
Tujuan dari flokulasi adalah untuk menciptakan partikel yang lebih besar yang kompatibel dengan proses selanjutnya seperti menetap atau flotasi. Flokulasi objektif, sebagai proses unit pengolahan air, adalah untuk menyebabkan tabrakan antara partikel kecil. Setelah pendinginan, premis adalah bahwa partikel akan menempel satu sama lain dan dengan demikian menggumpal, tumbuh beberapa ukuran yang diinginkan dan menjadi flok. Proses aglomerasi disebut flokulasi. Pada prinsipnya, flokulasi merupakan kasus khusus pencampuran. Pada risiko beberapa redundansi, flokulasi dianggap di sini sebagai topik yang terpisah untuk menyalahkan identitas itu sendiri.
Kecepatan pengendapan dipengaruhi oleh berat jenis partikel, berat jenis cairan, gravitasi, konstanta, dan viskositas. Pengaruh ini dinyatakan dalam formula sebagai berikut:
Di mana V = kecepatan pengendapan,  = berat jenis partikel,  = berat jenis cairan, K = konstanta, dan  = viskositas (Anggreini, 2008).
Jar test telah digunakan selama puluhan tahun oleh operator pabrik pengolahan air untuk mengembangkan informasi tentang dosis kimia yang harus digunakan untuk acheve koagulasi yang efektif dan sedimentasi. Banyak utilitas air dengan menggunakan jar test telah mengembangkan modifikasi atau variasi untuk beradaptasi prosedur ini dengan kondisi spesifik yang dihadapi di pabrik mereka. Bagian dasar peralatan yang dibutuhkan untuk jar test adalah multi-place stirrer. Jenis stirrer termasuk dayung persegi panjang dipasang pada poros panjang dan didorong dari atas tabung dengan mekanisme roda gigi, dan dayung persegi panjang dipasang pada berdiri dalam tabung uji dan diputar oleh magnet terletak di mekanisme driver di mana tabung ditempatkan.
Pada praktikum ini yang pertama dilakukan adalah menyiapkan 600 ml sampel dalam 4 buah gelas beaker yang diberi label sampel 1, 2, 3, dan 4. Selanjutnya adalah mengecek pH dari sampel sebanyak 600 ml, tujuannya adalah mendapakan pH yang optimum agar tawas dapat bekerja dengan optimal. pH optimum untuk tawas adalah 6-8. Setelah dicek dengan kertas indikator pH diketahui bahwa sampel bersifat asam sehingga untuk mendapatkan pH optimum perlu diberi tambahan zat yang bersifat basa agar pHnya naik. Larutan yang digunakan adalah NaOH. Untuk mengetahui volume NaOH yang tepat perlu dilakukan titrasi. Sampel yang dititrasi cukup sebanyak 100 ml saja untuk menyingkat waktu menghemat NaOH yang digunakan. Nantinya akan digunakan perbandingan volume untuk mengetahui berapa volume NaOH yang harus digunakan untuk 600 ml sampel.
Prosedur berikutnya adalah melakukan titrasi pada sampel sebanyak 100 ml. Sampel ditambahi indikator PP agar diketahui perubahan warna saat NaOH mencapai volume optimalnya untuk menaikkan pH sampel. Setelah proses titrasi didapat volume NaOH untuk menetralkan 100 ml sampel adalah sebanyak 20 ml. Hal itu berarti bahwa untuk menetralkan 600 ml sampel dibutuhkan volume NaOH sebanyak 20x6 = 120 ml. Setelah itu, 120 ml NaOH tersebut dituangkan ke  dalam 4 buah gelas beaker berisi sampel limbah tahu.
Selanjutnya tawas disiapkan dalam 3 buah gelas ukur. Gelas ukur pertama diisi 10 ml, gelas kedua 20 ml, dan gelas ketiga 30 ml. Sampel yang nantinya diberi tawas hanya sampel 2-3 saja karena sampel 1 akan digunakan sebagai kontrol. Setelah gelas sampel yang sudah tercampur NaOH dan gelas ukur berisi tawas siap, maka alat jar test disiapkan dan diatur kecepatan putarannya serta lama waktu pengadukannya. Yang dilakukan lebih dulu adalah mengatur waktu total pengadukan yaitu 16 menit (1 menit pengadukan cepat dan 15 menit pengadukan lambat). Karena yang pertama dilakukan adalah pengadukan cepat, maka kecepatan putaran diatur pada angka 100 rpm.
Gelas-gelas sampel kemudian diletakkan pada tempatnya di alat jar test, kemudian pengaduk diturunkan. Setelah siap, alat jar test dinyalakan bersamaan dengan penuangan tawas sesuai ketentuan dan bersamaan dengan dinyalakannya stopwatch untuk mengukur waktu. Walaupun pada alat jar test sudah ada pengatur waktu, namun lebih akurat jika dilakukan pengukuran manual dengan menggunakan stopwatch. Setelah 1 menit, maka kecepatan putaran diganti ke 20 rpm. Selanjutnya adalah menunggu selama 15 menit sampai pengadukan lambat berakhir. Setelah pengadukan berakhir, maka sampel didiamkan selama 30 menit untuk menunggu endapan terbentuk dan tenggelam di dasar gelas.
Langkah selanjutnya adalah mengukur TSS dalam sampel dengan menggunakan spektrofotometer. Keempat sampel yang didiamkan selama 30 menit tadi kemudian menjadi terpisah antara endapan dan air jernih. Air jernih yang berada di bagian atas gelas inilah yang diambil sebagai sampel untuk diukur TSSnya. Dari masing-masing gelas sampel diambil 10 ml air dan dimasukkan ke dalam kuvet. Kemudian dengan metode standar spektrofotometri, nilai TSS dari keempat sampel diukur dan dicatat.
Hasil dari praktikum ini adalah berupa nilai TSS yang menunjukkan seberapa banyak partikel padat yang mengendap di dalam cairan sampel. Nilai TSS untuk sampel 1 atau sampel kontrol yang tidak diberi tawas menunjukkan kondisi overrange yang berarti bahwa nilai TSS melebihi 1000 mg/L. Sampel 2 yang ditambahi tawas sebanyak 10 ml menunjukkan nilai TSS sebesar 801 mg/L, sampel 3 dengan tawas sebanyak 20 ml memiliki nilai TSS sebesar 786 mg/L, sedangkan sampel 4 yang ditambah tawas sebanyak 30 ml menunjukkan hasil overrange yang berarti bahwa kandungan TSS nya melebihi 1000 mg/L. Peraturan ambang batas TSS untuk Provinsi DIY adalah 400 mg/L, sehingga keempat sampel ini dikatakan tidak memenuhi baku mutu yang ada karena melebihi ambang batas yang ditetapkan.
Hasil TSS yang didapat sebenarnya tidak sesuai dengan teori. Volume koagulan yang ditambahkan seharusnya berbanding lurus dengan nilai TSS, karena dengan banyaknya koagulan yang diberikan, maka pengendapan semakin berlangsung optimal (makin banyak endapan yang terbentuk karena pemisahan terjadi secara optimal). Semakin besar nilai TSS yang didapat menunjukkan bahwa pengendapan berlangsung dengan optimal. Namun pada hasil praktikum ini, didapat nilai TSS kontrol >1000 mg/L padahal sampel kontrol ini tidak diberi tawas sama sekali. Selain itu, ketidaksesuaian juga terjadi pada sampel 2 dan 3, di mana sampel 3 yang diberi tawas lebih banyak malah memiliki nilai TSS lebih kecil dari sampel 2. Kesalahan ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
1.      Pengambilan air sampel yang kurang hati-hati sehingga menyebabkan partikel padat ikut terambil ke dalam kuvet dan meningkatkan nilai TSS.
2.      Botol kuvet tidak bersih sehingga ada bercak yang di dinding luarnya yang kenudian terhitung sebagai absorben dan meningkatkan pembacaan nilai TSS.
3.      Alat spektrofotometer yang digunakan sedikit sudah rusak sehingga diragukan kevalidannya.
Dari hasil yang didapat apa adanya, disimpulkan bahwa dosis optimum koagulan tawas untuk sampel limbah tahu ini adalah 30 ml karena menghasilkan nilai TSS paling besar. Sampel kontrol tidak diperhitungkan karena walaupun nilai TSSnya melebihi 1000 mg/L namun diketahui bahwa tidak ada penambahan tawas sama sekali ke dalamnya.
Terlepas dari kesalahan tersebut, nilai TSS yang didapat semuanya melebihi ambang batas yang ditetapkan pemerintah DIY sehingga sudah jelas limbah ini tidak bisa digunakan untuk konsumsi biasa, selain itu limbah ini juga tidak bisa langsung dibuang ke lingkungan. Limbah ini harus melalui proses pemisahan terlebih dulu karena penanganan limbah cair dengan padat tentu berbeda caranya, sehingga dengan dilakukan pemisahan akan didapat 2 fase zat yang berbeda yaitu padat dan cair yang kemudian akan ditangani secara berbeda. Dengan mengetahui TSS yang ternyata melebihi ambang batas ini juga dapat dilakukan pengolahan lebih lanjut berupa pemanfaatan padatan yang mengendap menjadi pupuk atau hal lain yang masih bisa memiliki nilai ekonomi.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A.           Kesimpulan
1.      Metode untuk melakukan koagulasi dan flokulasi ini adalah dengan metode jar test yang terdiri dari 3 tahapan besar yaitu titrasi untuk penetralan pH, penambahan koagulan, pengadukan cepat dan lambat, dan pengukuran TSS secara spektrofotometri. Koagulasi berlangsung setelah penambahan koagulan berupa tawas dilakukan dan disertai dengan pengadukan cepat. Flokukasi berlangsung setelah dilakukan pengadukan lambat dan akhirnya mengendap di dasar gelas setelah didiamkan selama 30 menit.
2.      Dosis koagulan yang optimum untuk sampel limbah cair tahu ini adalah 30 ml dengan nilai TSS sebesar >1000 mg/L

B.            Saran
Alat spektrofotometer sebaiknya diperbaiki atau diganti supaya proses pembacaan nilai yang tertera di monitornya tidak sulit.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Analisa Jar Test dalam Air. Dalam http://goelanzsaw.blogspot.com/2013/02/jart-test/ diakses pada Rabu 2 April 2014 pukul 15.05 WIB.
Anonim 2. 2014. Proses Pengolahan Air dengan Metoda Koagulasi dan Filtrasi. Dalam http://ardra.biz/sain-teknologi/ilmu-dan-teknologi-terapan/pengolahan-air-limbah-cara-kimia-koagulasi/ diakses pada Rabu 2 April 2014 pukul 15.12 WIB.
Anonim 3. 2012. Koagulasi-Flokulasi-Sedimentasi untuk Pengolahan Limbah Kimia. Dalam https://jujubandung.wordpress.com/2012/09/04/koagulasi-flokulasi-sedimentasi-untuk-pengolahan-limbah-kimia/ diakses pada Rabu 2 April 2014 pukul 15.14 WIB.
Anonim 4. 2014. Koagulasi dan Flokulasi. Dalam http://alifcenter.wordpress.com/category/uncategorized/ diakses pada Rabu 2 April 2014 pukul 15.18 WIB.
Anggreini, Nora. 2008. Pengaruh Dosis Flokulan Terhadap Berat Jenis Endapan Pada Proses Pemurnian Nira Mentah. Repository Universitas Sumatera Utara. Medan.
AWWA. 2012. Operational Control of Coagulation and Filtration Processes 3rd Edition. American Water Works Association.
Bangun, Romel Sagel. 2013. Jenis Koagulan dan Flokulan. Dalam http://bangunromel.blogspot.com/2013/04/jenis-koagulan-dan-flokulan/ diakses pada Rabu 2 April 2014 pukul 15.07 WIB.
Chandra, Budiman. 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Habib, Muhammad. 2012. Koagulasi. Dalam http://habibarsenal.blogspot.com/2012_10_01_archive/ diakses pada Rabu 2 April 2014 pukul 15.23 WIB.
Hendricks, David W. 2006. Water Treatment Unit Process: Physical and Chemical. CRC Press. Florida.
Jenie, Betty Sri Laksmie, dan Winiati Pudji Rahayu. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Yogyakarta: Kanisius.
Karamah, Eva Fathul, dan Andrie Oktafauzan Lubis. 2007. Pralakuan Koagulasi Dalam Proses Pengolahan Air Dengan Membran: Pengaruh Waktu Pengadukan Pelan Koagulan Alumunium Sulfat Terhadap Kinerja Membran. Program Studi Teknik Kimia Departemen Teknik Gas&Petrokimia. Universitas Indonesia. Depok.
Kusnaedi. 2010. Mengolah Air Kotor Untuk Air Minum. Jakarta: Penerbit Swadaya.
Logsdon, Gary S. 2002. Filter Maintenance and Operations Guidance Manual. American Water Works Association. Washington.
Manurung, Tambak, dkk. 2012. Efektivitas Biji Kelor (Moringa oleifera) Pada Pengolahan Air Sumur Tercemar Limbah Domestik. Dalam Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik LIMIT’s. Vol 8, No.1: 37-41.
Muhammad, Gusti. 2009. Flokulator (Air Bersih). Dalam http://gusti-muhammadh.blogspot.com/2012/05/flokulator-air-bersih.html/ diakses pada Rabu 2 April 2014 pukul 14.41 WIB.
Notodarmojo, Suprihanto, dan Anne Deniva. 2004. Penurunan Zat Organik dan Kekeruhan Menggunakan Teknologi Membran Ultrafiltrasi dengan Sistem Aliran Dead-End (Studi Kasus : Waduk Saguling, Padalarang). Dalam Jurnal Sains & Tek. Vol. 36 A No. 1: 63-82.
Oxtoby, David W. 2001. Principles Of Modern Chemistry. Jakarta: Erlangga.
Purwaningsih, Eko. 2007. Cara Pembuatan Tahu dan Manfaat Kedelai. Bandung: Ganeca Exact.
Putra, Sugili, dkk. 2009. Optimasi Tawas Dan Kapur Untuk Koagulasi Air Keruh Dengan Penanda I-131. Dalam PROSIDING SEMINAR NASIONAL V SDM TEKNOLOGI NUKLIR ISSN 1978-0176. Yogyakarta.
Sindhuwati, Titi. 2012. Jar Test. Dalam http://titi-sindhuwati.blogspot.com/2012/06/jar-test/ diakses pada Rabu 2 April 2014 pukul 15.16 WIB.
Subarnas, Nandang. 2007. Terampil Berkreasi. Jakarta: Grafindo Media Pratama.
Sudiyati dan Sutoto. 2007. Penggunaan Flokulan Al2(SO4)3, I8H2O, dan Ca(OH)2 Dalam Pemekatan Radionuklida Cs-137 dan Co-60. Dalam Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengolahan Limbah VI. Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN.
Sundus, Maria. 2009. Sifat-sifat Koloid. Dalam http://kimia-asyik.blogspot.com/2009/11/sifat-sifat-koloid/ diakses pada Rabu 2 April 2014 pukul 15.16 WIB.
Sutresna, Nana. 2007. Cerdas Belajar Kimia untuk Kelas XI SMA. Jakarta: Grafindo Media Pratama.
Wagiman. 2014. Modul Praktikum Pengendalian Limbah Industri Program Studi Strata I  Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.


Share:

3 comments

  1. Terima kasih atas pengetahuan yang telah diberikan :)
    Saya meminta izin untuk menyadur beberapa penjelasan di bagian analisis data pengamatan untuk tugas laporan saya.

    ReplyDelete
  2. Menjual berbagai macam jenis Chemical untuk cooling tower chiller dan waste water treatment ,STP, nutrisi, bakteri dll untuk info lebih lanjut tentang produk ini bisa menghubungi saya di(081310849918) email tommy.transcal@gmail.com

    ReplyDelete