Praktikum Pengendalian Limbah Industri: Chemical Oxygen Demand (COD)

LAPORAN PRAKTIKUM
PENGENDALIAN LIMBAH INDUSTRI
ACARA IV
CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD)
TAHUN AJARAN 2013/2014



DISUSUN OLEH:

Nama
NIM
Hari/Tanggal
Kelompok
Asisten
: Nurul Hadiqah As-Sa’adah
: 11/318960/TP/10200
: Selasa, 15 April 2014
: D1
: Puji Rahayu



LABORATORIUM REKA INDUSTRI DAN
PENGENDALIAN PRODUK SAMPING
JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA        
2014



***


UNTUK FILE YANG FULL VERSION (GAMBAR-GAMBAR DAN RUMUS-RUMUS KOMPLIT) SILAKAN DOWNLOAD LINK DI BAWAH INI



***

BAB I
PENDAHULUAN


A.           Judul Praktikum
Chemical Oxygen Demand (COD)

B.            Tujuan Praktikum
1.        Mahasiswa dapat menjelaskan definisi dan aplikasi nilai COD.
2.        Mahasiswa dapat menentukan nilai COD sampelnya.

C.           Manfaat Praktikum
1.      Mahasiswa dapat mengetahui kegunaan dari diketahuinya nilai COD dan dapat mengaplikasikannya dalam pengolahan limbah secara nyata.
2.      Nilai COD sampel diketahui sehingga dapat diketahui penanganan yang tepat untuk jenis limbah seperti sampel.



BAB II
DASAR TEORI

Bahan organik yang terdapat pada air permukaan, berasal dari sumber-sumber alami yaitu padatan organic yang telah membusuk, limbah buangan industri, dan berasal dari kegiatan domestik. Terdapat 2 macam bahan organik secara umum, yaitu bahan organic biodegradable dan  non biodegradable (Wagiman, 2014). Limbah degradable yaitu limbah yang dapat terdekomposisi atau dapat dihilangkan dengan proses biologis alamiah, sedangkan limbah non biodegradable adalah limbah yang tak dapat dihilangkan dari perairan dengan proses biologis alamiah (Anonim, 2014).
Untuk mengetahui jumlah bahan organic di dalam air dapat dilakukan suatu uji yang lebih cepat daripada uji BOD, yaitu berdasarkan reaksi kimia dari suatu bahan oksidan. Uji tersebut disebut uji COD (chemical oxygen demand), yaitu suatu uji yang menentukan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan misalnya kalium dikhromat, untuk mengoksidasi bahan-bahan organic yang terdapat di dalam air (Fardiaz, 2006).
Metoda standar penentuan kebutuhan oksigen kimiawi atau Chemical Oxygen Demand (COD) yang digunakan saat ini adalah metoda yang melibatkan penggunaan oksidator kuat kalium bikromat, asam sulfat pekat, dan perak sulfat sebagai katalis. Kepedulian akan aspek kesehatan lingkungan mendorong perlunya peninjauan kritis metoda standar penentuan COD tersebut, karena adanya keterlibatan bahan-bahan berbahaya dan beracun dalam proses analisisnya (Nurdin, 2009).
Uji COD adalah suatu pembakaran kimia secara basah dari bahan organik dalam sampel. Larutan asam dikromat (K2Cr2O7) digunakan untuk mengoksidasi bahan organik pada suhu tinggi. Berbagai prosedur COD yang menggunakan waktu reaksi dari 5 menit sampai 2 jam dapat digunakan. Metode ini dapat dilakukan lebih cepat dair uji BOD. Oleh karena uji COD merupakan naalisis kimia, uji ini juga mengukur senyawa-senyawa organik yang tidak dapat dipecah seperti pelarut pembersih dan bahan yang dapat dipecah secara biologis seperti yang diukur dalam uji BOD (Jenie, 2007).
Penetapan COD gunanya untuk mengukur banyaknya oksigen setara dengan bahan organik dalam sampel air, yang mudah dioksidasi oleh senyawa kimia oksidator kuat. Penetapan ini sangat penting untuk dapat diuraikan secara kimiawi. Maka dapat dikatakan COD adalah banyaknya oksidator kuat yang diperlukan untuk mengoksidasi zat organik dalam air, dihitung sebagai mg/l O2. Beberapa zat organik yang tidak terurai secara biologik antara lain asam asetat, asam sitrat, selulosa dan lignin (Musyaffa, 2010).




BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

A.           Alat dan Bahan
Alat:
1.        Erlenmeyer 250 ml 2 buah
2.        Gelas ukur 25 ml 1 buah
3.        Gelas ukur 10 ml 1 buah
4.        Pipet ukur 1 ml 2 buah
5.        Glasfirn 3 buah
6.        Gelas ukur 200 ml 1 buah
7.        Buret 50 ml 1 buah
8.        Pipet tetes
9.        Bekker glas 250 ml 1 buah
Bahan:
1.      Sampel limbah cair tahu
2.      Larutan K2Cr2O7 (Kalium Dikromat)
3.      Larutan HgSO4 (Merkuri Sulfat)
4.      Larutan Na2S2O3 0,025 (Natrium Tiosulfat)
5.      Larutan KI
6.      Indikator pati 1%
7.      Aquadest

B.            Cara Kerja
PROSEDUR
HASIL
1.      Sebanyak 1 ml limbah dimasukkan dan diencerkan sebanyak 50 kali dalam gelas beaker (ditambah 49 mL aquadest).


 






2.      Sampel hasil pengenceran diambil sebanyak 1 ml.
 


3.      20 ml larutan Kalium dikromat (K2Cr2O7) ditambahkan sedikit demi sedikit dan dikocok hingga homogen (jika timbul warna hijau, lakukan pengenceran).
 


4.      Larutan tersebut dipanaskan hingga timbul 3-5 gelembung kemudian didinginkan hingga mencapai suhu kamar.
 


5.      150 ml aquadest ditambahkan dan didinginkan kembali.
 


6.      10 ml larutan Kalium Ioida (KI) ditambahkan ke dalam larutan, setelah ditambahkan KI harus segera dilakukan titrasi.
 


7.      Larutan dititrasi dengan larutan Natrium tio sulfat Na2S2O3 0,025 N hingga larutan berwarna coklat kekuningan.
 
8. 2 ml indikator kanji 1% ditambahkan ke dalam larutan (1 gram tepung kanji diencerkan dalam 100 ml aquadest).
 

9.      Larutan dititrasi kembali hingga warna biru berubah menjadi jernih.


10.  Prosedur yang sama dilakukan lagi untuk larutan blangko.
Sampel hasil pengenceran masuk ke dalam gelas beaker.









Sampel terambil sebanyak 1 ml.





Larutan kalium dikormat tercampur dengan sampel.





Sampel yang tadinya mendidih sudah didinginkan hingga mencapai suhu kamar.



Aquadest tercampur dalam sampel.




Larutan KI tercampur dalam sampel.






Larutan berwarna coklat kekuningan setelah dititrasi.


  
Indikator yang sudah diencerkan tercampur ke dalam larutan yang kemudian berubah warna menjadi biru tua.


Larutan berwarna jernih setelah titrasi.



Larutan blangko mengalami prosedur yang sama.



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A.      Hasil Praktikum
1.      Tabel volume titran yang digunakan dalam uji COD
2.      Perhitungan nilai COD sampel
Terlampir

B.       Pembahasan
Judul praktikum pengendalian limbah industri acara 4 ini berjudul Chemical Oxygen Demand (COD). COD adalah ukuran kapasitas konsumsi oksigen anorganik dan bahan organik yang ada dalam air limbah. COD dinyatakan sebagai jumlah oksigen yang dikonsumsi dalam satuan mg / L. (Lee, 2005). Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat organik yang secara alamiah dapat teroksidasi.  Prinsip pengukuran COD dilakukan dengan menggunakan larutan K2Cr2O7 sebagai sumber oksigen dan pada suasana asam (Wagiman, 2014).
COD dan BOD yang tinggi akan berdampak pada defisit oksigen dalam air sungai sehingga bisa mengakibatkan kematian pada ikan dan tumubuhan air (Prihandana, 2007). Nilai COD tinggi mengindikasikan bahwa air tercemar. Air yang tercemar, misalnya oleh limbah domestik ataupun limbah industri pada umumnya mempunyai nilai COD yang tinggi, sebaliknya air yang tidak tercemar mempunyai COD yang rendah (Musyaffa, 2010).
Prosedur praktikum terbagi atas dua kegiatan besar yaitu pemanasan di lemari asam dan titrasi. Kedua hal ini dilakukan baik untuk sampel limbah maupun larutan blangko. Hal pertama yang dilakukan adalah memasukkan 1 ml aquadest dan diencerkan sebanyak 50 kali dengan cara menambahkan 49 ml aquadest ke dalam 1 ml sampel aquadest. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menurunkan konsentrasi sampel agar ketika dititrasi volume titrannya tidak terlalu banyak. Selanjutnya adalah mengambil sampel hasil pengenceran sebanyak 1 ml dan ditambahkan dengan 20 ml larutan kalium dikromat atau K2Cr2O7 kemudian dikocok hingga homogen. Kalium dikromat ini berfungsi sebagai oksidator zat-zat organik yang ada di dalam sampel. Kemudian larutan tersebut dipanaskan di lemari asam, jika muncul 3-5 gelembung kecil maka larutan tersebut diangkat dari kompor dan didinginkan hingga mencapai suhu kamar. Langkah selanjutnya adalah menambahkan aqudest sebanyak 150 ml dan mendinginkannya kembali, setelah itu larutan ditambahkan dengan indikator yaitu kalium iodida (KI) untuk selanjutnya dilakukan titrasi. Pada proses titrasi, zat yang digunakan sebagai titran adalah Natrium tiosulfat (Na2S2O3) 0,025 N. Titrasi dilakukan sampai larutan berwarna coklat kekuningan jernih. Prosedur selanjutnya adalah menambahkan indikator kedua yaitu larutan kanji 1% sebanyak 2 ml. Larutan kanji dibuat dengan cara melarutkan 1 gr tepung kanji ke dalam 100 ml aqudest dan memanaskannya di atas kompor. Pemanasan dilakukan karena larutan kanji hanya dapat bereaksi saat suhu panas. Hal ini menyebabkan proses memasukkan larutan kanji ke dalam sampel harus saat larutan masih dalam keadaan panas. Pada suhu biasa ia akan menjadi lengket dan setengah padat. Setelah larutan sampel ditambahkan dengan larutan kanji yang merupakan indikator kedua, maka sampel akan berubah warna menjadi biru tua keruh. Kemudian larutan dititrasi untuk yang kedua kalinya dengan titran yang sama yaitu natrium tiosulfat. Larutan dititrasi sampai warna biru berubah menjadi jernih. Larutan inilah yang menjadi larutan blangko 1. Selanjutnya adalah melakukan prosedur yang sama untuk membuat blangko kedua, sampel limbah 1, dan sampel limbah 2. Larutan blangko yang dibuat berfungsi sebagai kontrol atau standar saat melakukan proses titrasi pada sampel limbah. Kemudian volume titran yang tercatat untuk membuat blangko 1, blangko 2, sampel limbah 1, dan sampel limbah 2 dicatat untuk selanjutnya dimasukkan dalam perhitungan nilai COD.
Reaksi kimia yang terjadi pada proses pemanasan larutan yang sudah dicampur dengan kalium dikromat adalah sebagai berikut (Harany, 2012) :
HaHbOc + Cr2O72- + H+ → CO­+ H2O + Cr3+                             
Perbandingan antara hasil titrasi sampel limbah dengan blangko tidak terlalu jauh. Yang menjadi masalah adalah salah satu dari 2 blangko yang dibuat mengalami kesalahan teknis dalam pembuatannya sehingga blangko kedua warnanya terlalu jernih padahal seharusnya kuning kecoklatan. Hal ini terjadi karena pada saat titrasi pertama, proses pembukaan kran buret terlalu besar sehingga titran mengucur terlalu deras dan mengakibatkan larutan blangko menjadi berwarna jernih. Oleh karena itu, blangko yang dijadikan standar untuk dibandingkan dengan sampel limbah adalah blangko pertama yang warnanya benar sesuai teori. Volume titran yang terpakai pada saat titrasi pertama untuk blangko 1 adalah sebanyak 6,5 ml, sedangkan pada titrasi kedua volume titran yang terpakai sebanyak 5 ml. Untuk titrasi pertama pada blangko 2, volume titran yang terpakai adalah sebanyak 7 ml dan pada titrasi kedua sebanyak 2,7 ml. Volume titran pada titrasi pertama inilah yang menjadi kesalahan dalam titrasi karena terlalu banyak yaitu mencapai 7 ml. Untuk titrasi sampel limbah 1, proses titrasi pertama menggunakan titran sebanyak 6 ml dan proses titrasi kedua sebanyak 5 ml. Sedangkan untuk titrasi sampel limbah 2, proses titrasi pertama menggunakan titran sebanyak 6 ml dan titrasi kedua sebanyak 5,3 ml. Volume titrasi pertama dan kedua ini kemudian dijumlahkan. Selanjutnya, volume total titran antara blangko 1 dan 2 dirata-rata dan nantinya dalam perhitungan akan menjadi . Volume total titran antara sampel limbah 1 dan sampel limbah 2 juga dirata-rata dan menjadi .
Perhitungan nilai COD dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Wagiman, 2014) :
Di mana N adalah normalitas dari natrium tiosulfat yaitu 0,025 N,  adalah volume titran rata-rata pada larutan blangko 1 dan 2,  merupakan volume titran rata-rata pada larutan sampel limbah 1 dan 2, kemudian P merupakan jumlah pengenceran yaitu 50, dan ml sampel adalah sebanyak 1 ml. Berdasarkan tabel hasil diketahui bahwa  adalah sebanyak 10,6 ml dan  sebanyakk 11,15 ml. Sehingga ketika dimasukkan ke rumus perhitungan menjadi :
= -5500 mg/L
Hasil perhitungan menjadi negatif karena volume pada titrasi kedua untuk blangko 2 hanya sebanyak 2,7 ml saja yang menyebabkan volume rata-rata titran pada blangko terlalu sedikit dan menjadi lebih sedikit daripada volume rata-rata titran untuk larutan sampel limbah.
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 15 Tahun 2008 untuk Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha Pengolahan Kedelai, ambang batas untuk COD untuk limbah tahu adalah sebesar 300 mg/L. Sedangkan menurut Peraturan Gubernur DIY No. 20 Tahun 2008 tentang Baku Mutu Air di Provinsi DIY, ambang batas nilai COD adalah 10 mg/L untuk air golongan I (air minum), 25 mg/L untuk air golongan II (prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, pengairan), 50 mg/L untuk air golongan III (pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, pengairan), dan 100 mg/L untuk air golongan IV (pengairan).
Hasil praktikum tidak bisa dibandingkan dengan ambang batas yang berlaku dikarenakan kesalahan dalam melakukan praktikum sehingga hasil perhitungan COD menjadi negatif. Namun, jika seandainya hasil perhitungan COD pada sampel limbah melebihi ambang batas, dampaknya adalah tidak bisa dijadikan sebagai konsumsi air minum, sarana rekreasi, maupun untuk pengairan dan pembudidayaan ikan. Nilai COD yang tinggi menunjukkan bahwa semakin banyak oksigen yang digunakan untuk mengurai senyawa-senyawa anorganik dalam cairan, sehingga oksigen yang digunakan sebagai sumber kehidupan biota air menjadi semakin sedikit. Sebagai limbah pun, jika kadar COD nya melebihi batas yang ditentukan maka dampaknya adalah harus dilakukan treatment khusus dalam pembuangannya, dengan kata lain limbah tersebut tidak boleh begitu saja dibuang ke lingkungan tanpa diturunkan kadar COD nya.
Jika terjadi kelebihan kadar COD dalam suatu zat cair, maka cara yang dapat dilakukan untuk menurunkan kadar COD tersebut adalah dengan menggunakan metode tricking filter. Pada Trickling filter terjadi penguraian bahan organik yang terkandung dalam limbah. Penguraian ini dilakukan oleh mikroorganisme yang melekat pada filter media dalam bentuk lapisan biofilm. Pada lapisan ini bahan organik diuraikan oleh mikroorganisme aerob, sehingga nilai COD menjadi turun (Harany, 2012).




DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2014. Tinjauan Pustaka Pencemaran Air. Dalam http:// repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33066/4/Chapter%20II.pdf. Diakses tanggal 13 April 2014 pukul 16:02.
Fardiaz, Srikandi. 2006. Polusi Air & Udara. Yogyakarta: Kanisius
Harany, Sri. 2012. Chemical Oxygen Demand (COD). Dalam http://ranyharany.blogspot.com/2012/10/chemical-oxygen-demand-cod.html/ diakses pada 21 April 2014 pukul 17.01 WIB.
Jenie, Betty Sri Laksmi dan Winiati Pudji Rahayu. 2007. Penanganan Limbah Industri Pangan. Yogyakarta: Kanisius.
Lee, C.C. 2005. Environmental Engineering Dictionary. Publisher   Government Institutes. Washington DC.
Musyaffa, Ripani. 2010. Oxygen Demand (COD). Dalam http://ripanimusyaffalab.blogspot.com/2010/01/oxygen-demand-cod.html/ diakses pada 21 April 2014 pukul 15.16 WIB.
Nurdin, M dkk. 2009. Pengembangan Metode Baru Penentuan Chemical Oxygen Demand (COD) Berbasis Sel Fotoelektrokimia: Karakterisasi Elektroda Kerja Lapis Tipis TiO2/ITO. Dalam Makara, Sains, vol 13 no.1: 1-8.
Prihandana, Rama, dkk. 2007. Menghasilkan Biodiesel Murah Mengatasi Polusi dan Kelangkaan BBM. Jakarta: PT AgroMedia Pustaka.
\Wagiman dan Desi Setioningrum. 2014. Modul Praktikum Pengendalian Limbah Industri. Yogyakarta: TIP FTP UGM.






LAMPIRAN

1.      Perhitungan nilai COD
N         = normalitas natrium tiosulfat = 0,025 N
         = volume titran rata-rata pada larutan blangko 1 dan 2 = 10,06 ml
         = volume titran rata-rata pada sampel limbah 1 dan 2 = 11,15 ml
P          = jumlah pengenceran = 50
ml sampel        = 1 ml.
                              = -5500 mg/L

2.      Lampiran Perda DIY No.20 Tahun 2008
Parameter Baku Mutu Air DIY
Satuan
KANDUNGAN
Keterangan
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
FISIKA
Temperatur
0C
± 30C
Terhadap suhu udara
± 30C
Terhadap suhu udara
± 30C
Terhadap suhu udara
± 30C
Terhadap suhu udara
Deviasi temperatur dari keadaan alamiah
Bau
Tidak berbau
-
-
-
Kekeruhan
NTU
5
-
-
-
Warna
TCU
50
100
-
-
Residu Terlarut (TDS)
mg/L
1000
1000
1000
2000
Residu Tersuspensi (TSS)
mg/L
0
50
400
400
KIMIA
Ph
mg/L
6 – 8.5
6 – 8.5
6 - 9
5 - 9
BOD
mg/L
2
3
6
12
COD
mg/L
10
25
50
100
DO
mg/L
6
5
4
0
Angka batas minimum
Fosfat
mg/L
0.2
0.2
1
5
Nitrat
mg/L
10
10
20
20
Amoniak (NH3)
mg/L
0.5
-
-
-
Bagi perikanan,kandungan amonia bebas untuk ikan yang peka ≤ 0,02 mg/L sebagai NH3
Arsen
mg/L
0.05
1
1
1
Kobalt
mg/L
0.2
0.2
0.2
0.2
Barium
mg/L
1
-
-
-
Boron
mg/L
1
1
1
1
Selemium
mg/L
0.01
0.05
0.05
0.05
Kadmium
mg/L
0.01
0.01
0.01
0.01
Krom (VI)
mg/L
0.05
0.05
0.05
1
Tembaga
mg/L
0.02
0.02
0.02
0.2
Bagi pengolahan air minum secara konvesional Cu ≤ 1 mg/L
Besi
mg/L
0,3
-
-
-
Bagi pengolahan air minum secara konvesional Fe ≤ 5 mg/L
Timbal
mg/L
0.03
0.03
0.03
1
Bagi pengolahan air minum secara konvesional Pb ≤ 0,1 mg/L
Mangan
mg/L
0.1
-
-
-
Raksa (Hg)
mg/L
0.001
0.002
0.002
0.005
Seng (Zn)
mg/L
0.05
0.05
0.05
2
Bagi pengolahan air minum secara konvesional Zn ≤ 5 mg/L
Klorida (Cl)
mg/L
600
800
1000
1200
Sianida
mg/L
0,02
0,02
0,02
-
Flourida
mg/L
0.5
1.5
1.5
-
Nitrit
mg/L
0.06
0.06
0.06
-
Bagi pengolahan air minum secara konvesional N02-N ≤ 1 mg/L
Sulfat
mg/L
400
-
-
-
Klorin (Cl2)
mg/L
0,03
0,03
0,03
-
Bagi ABAM tidak dipersyaratkan
Sulfida
mg/L
0.002
0.002
0.002
-
Bagi pengolahan air minum secara konvesional H2S ≤ 0,1 mg/L
SAR (Sodium Adsorption Ratio)*)
mg/L
10 - 18
Maksimum 10 untuk tanaman peka maksimum 18 untuk tanaman kurang peka
MIKROBIOLOGI
Fecal coliform
MPN/100 mL
100
1000
2000
2000
Bagi pengolahan air minum secara konvesional Fecal coliform ≤ 2000 MPN/100 mL
Total coliform
MPN/100 mL
1000
5000
10000
10000
Bagi pengolahan air minum secara konvesional Fecal coliform ≤ 10000 MPN/100 mL
Total coliform (untuk pemandian umum)
MPN/100 mL
200
Jumlah kuman kolam renang
Koloni/
mL
200

3.      Lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 15 Tahun 2008




BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A.      Kesimpulan
1.      COD merupakan ukuran kapasitas konsumsi oksigen anorganik dan bahan organik yang ada dalam air limbah sekaligus ukuran bagi pencemaran air oleh zat organik yang secara alamiah dapat teroksidasi. Aplikasi pengukuran nilai COD adalah pada bagian Waste Water Treatment Plant suatu industri, jika diketahui COD terlalu tinggi maka dilakukan penurunan kadar COD dengan menambah bakteri atau menambahkan polimer.
2.      Nilai COD sampel adalah -5500 mg/L. Hasil ini tidak sesuai teori karena bernilai negatif, dikarenakan kesalahan pada saat titrasi yaitu volume titran yang terlalu banyak saat mengucurkan kran buret.

B.       Saran
Alat dilengkapi yang sesuai standar, contohnya sendok untuk mengambil H2SO4  jangan sendok yang terbuat dari plastik.



Share:

1 comments

  1. Waste Water Treatment Plant
    Waste Treatment Chemical adalah salah satu jenis pengolahan air limbah dari berbagai macam jenis water treatment lainnya untuk pengolahan air baku dan air limbah. Program ini didesain khusus untuk membantu pelanggan melindungi sistem dan lingkungan mereka, serta mematuhi peraturan pemerintah tentang pengolahan limbah.
    Ada beberapa metode untuk pemisahan padatan dan cairan di perairan influen dan effluent. Metode mekanis meliputi sedimentasi, tegang, flotasi, dan penyaringan. Bahan kimia koagulasi dan flokulasi digunakan dalam proses pengobatan untuk klarifikasi air, pelunakan kapur, penebalan lumpur, dan penguraian dan pengeringan padatan. Selain itu, kami memiliki Waste Treatment Chemical khusus untuk kebutuhan air limbah dari berbagai industri, seperti: penghilangan logam berat, emulsi minyak / air, detokifikasi cat, pengendalian bau, dan penghancuran.
    Harga Waste Water Treatment Plant
    : CALL
    TOMMY.K
    (081310849918)

    ReplyDelete